menuju ‘manunggaling kawula gusti’.”
Kebo Kenongo menghampar serban
di depannya. Lalu berdiri.
“Andika sekarang akan shalat?” Syekh
Siti Jenar duduk bersila di sampingnya. “Bukankah andika telah mencoba
menuju maunggaling kawula gusti?”
“Benar, namun saya belum sampai.
Sekarang saya akan shalat.” terang
Kebo Kenongo.
“Tujuan andika shalat?” Syekh Siti Jenar tersenyum.
“Bukankah shalat jalan kita untuk
menuju manunggaling kawula gusti,Syekh?”
Kebo Kenongo mengerutkan
dahinya.
“Bukan.” ujarnya pendek. Syekh Siti Jenar memutar tasbih seraya
mulutnya komat-kamit berdzikir.
“Apakah harus berdzikir menuju
maunggaling kawula gusti, Syekh?”
tanyanya kemudian.
“Tidak juga.” jawab Syekh Siti Jenar
pendek.
“Lantas, untuk apa shalat dan berdzikir?” kerutnya. “Bukankah Syekh pernah mengatakan kalau semua itu upaya untuk mendekatkan diri
dengan Allah?”
“Jika itu jawaban Ki Ageng Pengging benar adanya.” Syekh Siti Jenar sejenak memejamkan mata, kemudian membukanya lagi dan menatap Kebo Kenongo yang masih berdiri hendak shalat.
“Bukankah mendekatkan diri kepada Allah sama saja dengan menuju manunggaling kawula gusti?” tanya
Kebo Kenongo selanjutnya.
“Tidak juga, Ki Ageng.” ujar Syekh Siti Jenar.
“Lantas?”
“Manunggaling kawula gusti sangat berbeda dengan mendekatkan diri kepada Allah.” terang Syekh Siti Jenar.
“Perbedaannya?” keningnya semakin berkerut .
“Karena yang namanya dekat berbeda dengan manunggal. Manunggal bukanlah dekat. Dekat bukanlah manunggal.” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak. “Namun sekarang sebaiknya Ki Ageng Pengging shalatlah dulu, berceritalah setelah selesai mendirikan nya.” tambahnya.
“Baiklah, Syekh.”
Keadaan di padepokan Syekh Siti Jenar sore itu terasa segar. Panas matahari tidak menyengat seiring dengan bayang-bayang manusia yang kian meninggi.
Udara pegunungan terasa sejuk, pepohonan dan tumbuhan berdaun lebat menambah suasana asri.
Padepokan yang ditata sedemikian
rupa menambah khusuk para pencari ilmu.
“Syekh…” Kebo Kenongo mendekat, “Shalat saya sudah selesai.”
“Baiklah,” Syekh Siti Jenar bangkit dari duduknya, “Apa yang andika rasakan saat shalat?”
“Tidak ada.”
“Tidakah merasakan sejuknya udara pegunungan? Tidakah andika melihat kain serban yang terhampar di tempat sujud?” lanjut Syekh Siti Jenar.
“Tidak,” jawab Kebo Kenongo.
“Tidakah andika mendekati Allah?”
tanyanya kemudian. “Saya tidak merasakannya. Tidak pula
menjumpainya.” ujar Kebo Kenongo.
“Mungkin shalat saya terlalu khusuk.”
Syekh Siti Jenar menengadah ke langit,lalu duduk bersila di atas rumput hijau yang dihampari tikar pandan. Gerak-geriknya tidak luput dari pandangan Kebo Kenongo.
“Lihatlah!” kedua tanganya ditumpuk di bawah dada. Tiba-tiba tubuhnya mengangkan dari tikar yang didudukinya dengan jarak satu jengkal, dua jengkal, satu hasta, dua depa.
“Apa yang terjadi, Syekh?” Kebo Kenongo garuk-garuk kepala,
keningnya berkerut-kerut.
“Ini hanyalah bagian terkecil akibat
dari pendekatan dengan Allah…”
dalam keadaan melayang, matanya
menatap tajam ke arah Kebo Kenongo.
“Hasil pendekatan? Jadi bukan
manunggaling kawula gusti?” dengan menahan kedip Kebo Kenongo bertanya.
“Saya belum menerangkan tentang
manunggaling kawula gusti. Namun kita tadi berbicara tentang upaya pendekatan…” terang Syekh Siti Jenar,perlahan menurukan kaki satu persatu hingga akhirnya kembali menyentuh tanah.
“Dengan jalan shalatkah?” tanya Kebo Kenongo. “Bukankah saya tadi waktu shalat tidak menemukan apa pun,bahkan tidak bisa melakukan seperti yang Syekh perlihatkan.” “Jangan salah ini bukan shalat! Namun shalat adalah salah satu upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Shalat tadi merupakan syari’at bagi pemeluk Islam, juga ibadah bagi hamba atau abdi Allah. Maka hukumnya wajib.” urai Syekh Siti Jenar, “Namun ketika
orang belum lagi menemukan hakikat dari shalat, itulah seperti yang Ki Ageng Pengging rasakan.”
“Hampa.” desis Kebo Kenongo, seraya menatap Syekh Siti Jenar dengan penuh kekaguman.
“Kebanyakan orang adalah seperti itu,Ki Ageng Pengging.” Syekh Siti Jenar melangkah pelan .
Jika demikian saya baru berada pada
tahapan syari’at. Bisakah saya
menemukan hakikat yang dimaksud
oleh Syekh Siti Jenar?” Kebo Kenongo
seakan-akan kehilangan gairah.
“Hakikat menuju pada pendekatan sebelum manunggaling kawula gusti,
maka seperti yang pernah saya
jelaskan pada Ki Ageng. Kita meski
berbeda agama namun bukanlah
andika harus memaksakan syari’at
ajaran yang saya miliki untuk Ki Ageng kerjakan. Karena kebiasaan andika
adalah bersemadi. Bukankah dengan
cara itu andika merasakan hal yang
berbeda, terutama dalam upaya
pendekatan.” Syekh Siti Jenar kembali
mengurainya. Benar, Syekh.” sejenak Kebo Kenongo
merenung. “Syekh, ternyata saya lebih bisa
merasakan mendekati Sang Pencipta
dengan cara bersemadi.” Kebo
Kenongo melangkah pelan di samping
Syekh Siti Jenar.
“Karena Ki Ageng Pengging sudah terbiasa dengan cara itu.” ujar Syekh
Siti Jenar pandangannya tertunduk ke
ujung kaki.
“Benar, seperti Syekh sampaikan. Cara
pendekatan dan kebiasaan ternyata
tidak mudah untuk dirubah. Namun ketika kita menggunakan jalan yang
berbeda ternyata memiliki tujuan
sama.” Kebo Kenongo menghela
napas dalam-dalam.
“Kenapa? Ya, karena itulah yang
disebut manunggal. Satu.” terang Syekh Siti Jenar, menghentikan
langkahnya seraya matanya menatap
puncak gunung yang berkabut.
“Benar, Syekh. Orang melakukan tata
cara dan ritual dalam wujud pisik yang
berbeda namun tujuannya tetap satu. Sang Pencipta.” tambah Kebo
Kenongo.
“Satu harapan untuk mendapatka
nnya. Mendekatkannya, meraihnya,
dan manunggal.” terang Syekh Siti
Jenar. “Namun belum manunggaling kawula gusti, yang akhirnya wahdatul
wujud.”
“Lantas?”
“Mereka mendekatkan diri kepadanya
bukan untuk tujuan manunggal,
tetapi untuk mengajukan berbagaima cam permohonan dan keinginan.
Karena mereka lebih mencintai urusan
lahiryah yang cenderung duniawi
ketimbang urusan alam kembali,
akhirat.” Syekh Siti Jenar melirik ke
arah Kebo Kenongo. “Bukankah ada juga orang yang tidak
terlalu tertarik pada urusan lahiryah
saja? Namun mereka menginginkan
kesempurnaan hidup dan masuk
dalam tahap akrab dengan Sang
Pencipta?” kerut Kebo Kenongo, tatapannya mendarat pada wajah
Syekh Siti Jenar yang bercahaya.
“Itulah yang jumlahnya sangat sedikit,
Ki Ageng Pengging.” lalu Syekh Siti
Jenar memberi isyarat dengan jari
jemari tangannya. “Kecenderungan orang melakukan pendekatan pada
Allah karena mengharapkan sesuatu,
atau orang tadi dalam keadaan susah.
Ketika mereka merasa senang dan
bahagia, lupalah kepadanya.”
“Mengapa, Syekh?”
“Karena tujuan pendekatan mereka
untuk meraih dan memohon kebaikan
lahiryah saja.” terang Syekh Siti Jenar.
“Ketika merasa sudah terkabul
keinginannya, kemudian melupakan Allah.” Bukankah tidak semua orang seperti
itu, Syekh?” tanya Kebo Kenongo.
“Tidak, hanya hitungannya lebih
banyak.” Syekh Siti Jenar melipat jari
jemarinya. “Sangat sedikit orang yang
punya kecenderungan untuk mengikat keakraban dengan Sang
Pencipta. Padahal tahap terkabulnya
permohonan mereka bukan karena
akrab, tapi dalam Supaya mendekat
dan kemahamurahannya saja. Jika
seandainya mereka sudah merasa akrab dan berada dalam keakraban
tidak mungkin melepas ikatannya
semudah itu.” urainya. “Jika sudah akrab saya kira tidak
mungkin orang untuk menjauh.
Karena untuk mengakrabi perlu upaya
mendekatan yang memerlukan waktu
tidak sebentar.” Kebo Kenongo
mengangguk-anggukan kepala. “Ya, maka tahap akrab dengan Allah
itulah ketika orang dalam keadaan
ma’rifat. Ketika kita tidak memiliki lagi
garis pemisah untuk saling bertemu.
Kapan pun, dimanapun, tidak ada lagi
sekat-sekat dan ruang kosong sebagai jeda untuk mengakrabinya.” Syekh Siti
Jenar menghela napas dalam-dalam. “Ya, ya, benar, Syekh.” Kebo Kenongo
berkali-kali mengangguk-anggukan
kepalanya.
“Nah, pada tahap akrab itulah kita
meminta apa pun tidak mungkin
tertolak. Mana ada keakraban tanpa adanya keterikatan kasih sayang?”
Syekh Siti Jenar perlahan melangkah
lagi.
“Tentu, Syekh. Saya sangat paham.”
Kebo Kenongo terkagum-kagum
dengan uraian Syekh Siti Jenar. “Keakraban dengan Allah tidak
mudah. Namun ketika kita sudah
berada dalam lingkarnya tidak mudah
pula untuk melepas.” Syekh Siti Jenar
berdiri mematung di bawah pohon
kenanga. “Benar, meski saya pun dengan susah
payah mendekat untuk meangkrabi
nya belum juga sampai. Karena upaya
saya bukan hanya untuk mendekat
dan mengajukan berbagai
permohonan. Namun ingin mengakrabinya.” ujar Kebo Kenongo.
“Jika dalam keadaan sangat akrab
bukankah tidak memohon pun akan
diberinya?”
“Ya,” ujar Syekh Siti Jenar. “Berjuangl
ah dan bergeraklah ke arah sana. Jika sudah tercapai, keinginan lahiryah pun
secara perlahan tidak lagi menjadi
persoalan yang sangat istimewa. Itu
semua dirasakan hanyalah sebagai
pelengkap lahiryah saja. Sebagai syarat
hidup.” “Benar, Syekh.” Kebo Kenongo kembali
mengiringi langkah Syekh Siti Jenar.
“Padahal tidak hanya Raden Patah
yang memiliki darah biru dan sekarang
menjadi Penguasa Demak Bintoro.
Saya pun masih keturunan Majapahit. Namun saya tidak punya hasrat sedikit
pun untuk menjadi penguasa. Tujuan
saya bukan itu, tetapi seperti Syekh
terangkan tadi.” “Keinginan lahiryah itulah yang
memenjarakan kita menuju ma’rifat.
Ruang kosong, antara, jarak, jeda,
pemisah, yang merintangi keakraban
kita dengan Sang Pencipta.” terang
Syekh Siti Jenar. “Perintang tadi berupa semua keinginan lahiryah yang
distimewakan oleh nafsu keduniawian,
karena ingin berkuasa, ingin kekayaan,
dan banyak keinginan. Itu semua yang
dinomor satukan. Lahirnya keserakaha
n.” “Jika itu yang masuk ke dalam jiwa dan
pikiran, hati ini akan terasa gelap.” ujar
Kebo Kenongo. “Mana mungkin
menuju akrab untuk mendekat pun
kita harus mencari cahaya jika tidak
tentu membabi buta.” “Nah, itulah penggoda manusia untuk
meraih keakraban dengan Allah.
Jernihkan hati, tenangkan jiwa,
damaikan gejolak nafsu, merupakan
upaya untuk membuka jalan
keakraban.” tambah Syekh Siti Jenar. “Manusia terkadang sangat sulit
menyusuri jalan yang penuh dengan
godaan tadi. Karena dalam dirinya
memiliki nafsu yang sangat sulit untuk
dikendalikan. Itulah upaya perjuangan
menuju keridloannya. Menuju akrab pada Allah. Terkadang manusia hanya
sebatas berucap dibibir, bahwa dirinya
telah akrab tetapi dalam kenyataannya
tidak. Lalu mengakui bahwa saya telah
ma’rifat. Sebenarnya ma’rifat bukan
sebuah pengakuan, tetapi realitas dalam tahapan akrab. Terbelengulah
dengan ikatan kata-kata.” “Ya.” Kebo Kenongo menghentikan
langkahnya seiring dengan Syekh Siti
Jenar. “Adakah perbedaan antara
ma’rifat dengan akrab? Atau memang
sama ma’rifat adalah akrab, sedangkan
akrab adalah ma’rifat?” tanyanya kemudian.
“Orang yang sudah ma’rifat tentu
akrab. Orang yang sudah akrab tentu
sudah ma’rifat.” terang Syekh Siti
Jenar, jubahnya yang berwarna hitam
berlapis kain merah tersibak angin pegunungan. “Ma’rifat itu sendiri?” kerut Kebo
Kenongo. “Tahu, Mengetahui.” berhenti sejenak.
“Namun tidak cukup itu, tentu saja
harus diurai dengan maksud dan
makna yang terarah. Mengetahui
tentang apa? Tahu tentang apa?
Tentu saja tentang dirinya dan Tuhannya. Bukankah terkait dengan
makna akrab. Sehingga ada istilah
kalau ingin mengenal Gustimu,
Allahmu, maka harus mengenal dirimu
sendiri.” Lanjut Syekh Siti Jenar. “Saya pernah mendengar, Syekh.”
Kebo Kenongo merenung. “Bukankah
Tuhan itu lebih dekat dari pada urat
leher dan lehernya, bola mata putih
dengan hitamnya?” “Tentu,” Syekh Siti Jenar melirik ke
samping. “Namun itu sifatnya umum.
Tidak masuk ke dalam makna akrab.
Bahkan ma’rifat juga mungkin tidak.”
“Bukankah untuk menuju ma’rifat
pun tidak mudah, Syekh? Tetapi ada tahapannya, yaitu Syariat, hakikat,
tharikat, dan akhirnya ma’rifat.” ujar
Kebo Kenongo.
“Harusnya demikian.” Syekh Siti Jenar
memutar lehernya seiring dengan
tatapan matanya, tertuju ke puncak pegunungan. “Bukan berarti orang
harus memahami tahapan tadi. Karena
tanpa memahami tahapan tadi pun
orang bisa berada dalam tingkat
ma’rifat, disadari atau diluar
kesadarannya. Sebab tidak semua orang wajib tahu tetang sebuah
istilah, yang penting adalah sebuah
pencapaian, lantas bisa merasakann
ya.” “Bukankah istilah tadi hanya ada dalam
agama Islam yang dianut Syekh
sendiri.” tambah Kebo Kenongo.
“Sedangkan dalam agama yang saya
pahami tentu saja punya nama yang
berbeda.” “Benar,” timpal Syekh Siti Jenar.
“Namun tetap maksudnya sama.
Hanya sebutannya saja yang berbeda.
Sehingga saya tadi mengurai seperti
itu.”
“Ya.” Kebo Kenongo menganggukan kepala. “Lantas ketika Syekh melayang apa
yang terjadi?” tanya Kebo Kenongo.
“Saya bisa melayang karena bisa
mengatur berat tubuh.” Syekh Siti
Jenar menatap langit, “Lihatlah di sana,
Ki Ageng! Mengapa burung itu bisa beterbangan, lalu saling kejar di
ketinggian yang tidak bisa kita jangkau
karena keterbatasan.”
“Tapi kenapa syekh sendiri bisa
meloncati keterbatasan tadi?”
“Sebenarnya bukan saya bisa meloncati keterbatasan, namun kita
bisa mengatur batas, menjauh dan
mendekatkan.” terang Syekh Siti Jenar.
“Maksud Syekh?” kerut Kebo
Kenongo. “Samakah dengan yang saya
dengar tentang Isra Mi’rajnya Nabi Muhammad?”
“Ya, namun berbeda.” “Maksudnya?”
“Jika Rasulallah Isra Mi’raj dengan
kehendak dan kekuasaan Allah.
Sedangkan saya tidak.” ujar Syekh Siti
Jenar.
“Saya kurang paham, Syekh?” Kebo Kenongo memijit keningnya.
“Ya, saya tidak bisa seperti Rasulallah.
Sebab saya bukan beliau…” terang
Syekh Siti Jenar. “Namun saya bisa
menyatu dengan kekuatannya dan
dzatnya. Hingga ketika saya menghendaki berada di pusat Negeri
Demak dengan sekejap itu bukan
persoalan yang mustahil.” tambahnya.
“Benarkah itu, Syekh?” Kebo Kenongo
semakin mengkerutkan dahinya. “Jika Ki Ageng Pengging ingin bukti,
maka tataplah saya! Jangan pula Ki
Ageng berkedip! Karena kepergian
saya ke pusat kota Demak Bintoro
bagaikan kedip, kembali pun
dihadapan Ki Ageng seperti itu pula. Saya dari pusat Kota Demak Bintoro
akan membawa makanan segar.” usai
berkata-kata, samarlah wujud Syekh
Siti Jenar, hingga akhirnya lenyap dari
pandangan Kebo Kenongo.
“Lha,” Kebo Kenongo menggosok- gosok kedua matanya. “Benarkah
yang sedang terjadi dan kuperhatikan
ini?”
“Inilah makan segar dari pusat kota
Demak Bintoro, Ki Ageng.”
“Lha, aih..aih..!” Kebo Kenongo terperanjat, ketika dihadapannya
Syekh Siti Jenar sudah berdiri kembali
seraya menyodorkan makanan hangat
dengan bungkus daun pisang.
“Itulah yang bisa saya lakukan, Ki
Ageng.” ujar Syekh Siti Jenar, seraya duduk bersila di atas hamparan tikar
pandan, dihadapannya terhidang dua
bungkus makanan hangat yang
beralaskan daun pisang. “Sekarang
marilah kita makan alakadarnya.”
“Ya,” Kebo Kenongo hanya menjawab dengan anggukan. “Saya tidak
sanggup untuk memikirkannya,
Syekh? Kenapa andika hanya dalam
kedip pergi ke pusat kota Demak
Bintroro untuk mendapatkan
hidangan makan pagi. Padahal jika kita bejalan dari padepokan ini ke pusat
kota Demak memakan waktu satu hari
satu malam?”
“Benar, Ki Ageng Pengging.” Syekh Siti
Jenar mengangguk. “Namun
bukankah kita tidak sedang berbicara tentang perjalanan jasad?”
“Maksud, Syekh?”
“Ingatkah Ki Ageng Pengging ketika
saya pernah bercerita tentang
Kanjeng Nabi Sulaiman AS.?” ujar
Syekh Siti Jenar. “Yang pernah Syekh baca dari ayat
suci alquran itu? Saya agak lupa.” Kebo
Kenongo menempelkan telunjuk
didahinya.
“Ketika Kanjeng Nabi Sulaiman
meminta kepada para pengagung negaranya untuk memindahkan kursi
Ratu Balqis ke istananya. Siapakah
yang bisa memindahkan singgasana
Ratu Balqis dalam waktu yang sangat
cepat, hingga jin Iprit menyanggupi.”
“Ya, saya ingat, Syekh.” Kebo Kenongo tersenyum. “Namun bukankah Jin Iprit
itu terlalu lama menurut Kanjeng Nabi
Sulaiman, karena dia meminta waktu
saat Baginda Nabi bangkit dari tempat
duduk maka singgasana akan
pindah…” “Benar, waktu seperti itu lama
menurut Kanjeng Nabi Sulaiman.
Karena bangkit dari duduk
memerlukan waktu beberapa saat.
Hingga berkatalah seorang ulama
serta mengungkapkan kesanggupa nnya, yaitu hanya sekejap. Kanjeng
Nabi Sulaiman berkedip maka
Singgasana Ratu Balqis pun akan
berhasil dia bawa. Hanya satu
kedipan.” terang Syekh Siti Jenar. “…
dan terbuktilah kehebatan ulama tadi.”
“Ya, benar, Syekh.” ujar Kebo
Kenongo, “Itulah ilmu Allah. Mana
mungkin bisa dicerna dan dipahami
dengan keterbatasan berpikir
manusia.” “Tidak semua manusia seperti itu, Ki
Ageng.” terang Syekh Siti Jenar.
“Itulah manusia kebanyakan,
terkadang perkataannya dan
pendalamannya dibidang ilmu
dangkal. Namun meski pun memiliki kedangkalan berpikir terkadang dalam
dirinya mencuat pula rasa angkuh dan
sombongnya. Jika hal itu terjadi maka
akan gelap untuk meraba dan meraih
yang saya maksud.”
Benar, Syekh. Hanya kejernihan berpikir dan menerima yang bisa
membukakan kebodohan dan
kekurangan diri kita…” timpal Kebo
Kenongo. “Namun dalam uraian tadi
apa yang membedakan kehebatan
ilmu yang dimiliki oleh Jin Iprit dan Ulama?”
“Tentu saja sangat berbeda.” Syekh Siti
Jenar bangkit dari duduknya, seraya
menatap langit. “Jin itu makhluk gaib,
tidak aneh bagi bangsa mereka
terbang, melayang-layang di angkasa, melesat secepat angin, menembus
lubang sekecil lubang jarum, bahkan
merubah wujud berbentuk apa pun
yang dikehendakinya.”
“Bisa pula tidak terlihat oleh manusia?”
“Sangat bisa. Ya, karena memiliki sifat ghaib itulah. Hanya orang-orang
tertentu saja yang bisa menembus
alam jin. Sebaliknya hanya jin
tertentulah yang bisa menampakan
diri pada manusia.” terang Syekh Siti
Jenar. “Sehebat apa pun bangsa jin tentunya tidak bisa melebihi manusia.”
“Bukankah pada zaman ini banyak
pula orang-orang yang memiliki ilmu
jin bahkan mengabdikan diri, karena
ingin mendapat kesaktiannya.” timpal
Kebo Kenongo. “Para dukun sakti saya rasa tidak terlepas dari kekuatan dan
kesaktian atas bantuan bangsa jin
yang dijadikan tuannya.”
“Itulah kedangkalan berpikir manusia,
Ki Ageng. Mereka tidak melihat asal
usul, jika manusia itu makhluk yang paling mulia di banding yang lainnya.
Termasuk jin.”
“Jika demikian, Syekh. Berarti kita
harus menaklukan jin agar bisa
memerintah mereka dan memanpaatk
an kekuatannya. Namun apa mungkin kita bisa menaklukan jin?”
“Kenapa tidak mungkin. Bukankah
Kanjeng Nabi Sulaiman sendiri
prajuritnya terdiri dari bangsa jin,
selain binatang dan manusia?” “Tapi untuk menaklukan bangsa jin
tentu saja ilmu kita harus di atas
mereka, Syekh?” “Tentu saja, Ki Ageng.” ujar Syekh Siti
Jenar. “Namun jika kita sudah memiliki
ilmu dan kesaktian sebetulnya menjadi
tidak perlu memiliki dan menaklukan
jin. Karena kita bukan raja seperti
Kanjeng Nabi Sulaiman, yang memerlukan prajurit dan abdi setia.
Untuk dijadikan balatentara dan
membangun negara, dengan arsitek-
arsitek yang kokoh. Jin dijaman nabi
sulaiman di suruh menyelami laut
untuk mengambil mutiara, di suruh membangun keraton berlantaikan
kaca yang membatasi kolam
dibawahnya.”
“Meski bukan raja kita juga butuh
prajurit pengawal, Syekh?” “Saya rasa tidak perlu bangsa jin yang
dijadikan prajurit pengawal. Bukankah
Kanjeng Nabi Muhammad juga tidak
dikawal oleh bangsa jin, namun selalu
disertai oleh Malaikat Jibril kemana
pun beliau pergi.” “Lalu haruskah Kanjeng Nabi
menundukan Malaikat agar
mengawalnya? Sakti mana dengan
jinnya Kanjeng Nabi Sulaiman?”
“Tentu saja Malaikat itu lebih sakti dari
bangsa jin. Karena yang mencabut nyawa jin juga Malaikat seperti halnya
nyawa manusia. Kanjeng Nabi
Muhammad pun tidak perlu
menundukan Malaikat, karena dengan
sendirinya Malaikat akan di utus oleh
Allah untuk menyertai orang-orang shalih. Apalagi Malaikat Jibril sebagai
pembawa wahyu Allah yang
disampaikan kepada Kanjeng Nabi
Muhammad.” urai Syekh Siti Jenar.
“Syekh sendiri siapa yang mengawal?”
“Karena saya manusia biasa, bukan nabi dan juga keshalihannya tidak saya
ketahui, entahlah. Mungkinkah Allah
mengutus Malaikat untuk mengawal
atau tidak saya tidak tahu. Yang jelas
saya tidak dikawal oleh bangsa jin…”
Syekh Siti Jenar kembali duduk bersila. “Tapi kenapa Syekh memiliki kesaktian?
”
“Ya, itu sedikit ilmu yang saya pelajari
dari keMaha Besaran Allah. Mungkin
yang mengawal saya kemana pun
pergi adalah ilmu yang saya miliki. Sehingga dengan ilmu itu saya pun
bisa memanggil prajurit Allah yang
empat.” tambah Syekh Siti Jenar.
“Prajurit Allah?” kerut Kebo Kenongo.
“Apakah para Malaikat? Kalau di dalam
agama saya para Dewa dan Hyang Jagatnata, penguasa triloka.” ”Prajurit Allah bukan Malaikat. Saya
tidak akan berbicara tentang para
Dewa.” berhenti sejenak, lalu tatapan
matanya menyapu wajah Kebo
Kenongo.
“Namun yang akan saya bicarakan prajurit Allah. Ingat bukan Malaikat,”
“Kenapa bukan Malaikat? Bukankah
Malaikat bisa mencabut nyawa
manusia dan bangsa jin yang goib?”
tanya Kebo Kenongo.
“Meskipun demikian Malaikat hanyalah makhluk Allah, tidak beda dengan kita.
Hanya yang membedakan kita dengan
Malaikat, dia adalah goib. Malaikat
memiliki keimanan tetap dan tidak
pernah berubah, berbeda dengan
bangsa manusia dan jin. Namun meski bagaimana pun tetap saja manusia
makhluk yang paling mulia, tetapi
sebaliknya derajat kemulian yang
diberikan Allah kepada manusia akan
lenyap. Bahkan manusia akan didapati
sebagai makhluk yang lebih rendah dan hina dibawah binatang.” urai
Syekh Siti Jenar.
“Lalu prajurit yang dimaksud?”
”Yang dimaksud prajurit tentu saja
penyerang, penghancur, perusak,
dengan segala tugas yang diembannya.”
“Mungkinkah mirip dengan Dewa
Syiwa?”
“Mungkin, Ki Ageng.” Syekh Siti Jenar
berhenti sejenak. “Sedangkan prajurit
Allah yang empat disini pun fungsi dan tugasnya untuk menghancurkan,
merusak, dengan tujuan manusia
berbalik pada jalan lurus. Mengingatk
an kekeliruan yang pernah diperbuat
oleh para khalifah bumi. Tujuannya
tentu saja menyadarkan, jika yang menedapatkan taufiq dan hidayah.
Adzab dan siksa bagi mereka yang
tidak pernah mau bertobat dan
kembali kepada jalan yang lurus.”
“Lalu siapa yang dimaksud dengan
prajurit Allah yang empat tadi, Syekh?” “Prajurit Allah yang empat itu
diantaranya…” Syekh Siti Jenar
melangkahkan kakinya perlahan. “…
pertama adalah angin. Lihatlah angin
yang lembut dan sepoi-sepoi, namun
perhatikan pula jika angin itu mulai dahsyat serta bisa memporak-p
orandakan bangunan sehebat apa
pun, menghancurkan pohon-pohon
yang tertancap kokoh, menerbangkan
segala hal yang mesti diterbangk
annya, bahkan menghancurkan sebuah kota atau perkampungan.
Lantas ketika angin mengamuk siapa
yang bisa membendung dan
menghalang-halangi?”
“Tidak ada, Syekh.”
“Itulah kehebatan prajurit Allah yang disebut manusia angin pada syariatnya
. Padahal angin itu hakikatnnya
membawa pesan pada manusia, pada
para khalifah bumi, agar menyadari
kekeliruan yang pernah diperbuatn
nya. Manusia yang melakukan keruksakan di muka bumi maka akan
kembali pada perbuatannya,
akibatnya. Namun dalam hal ini
manusia hanya memandang sebelah
mata pada hakikat angin. Mereka lebih
banyak bercerita dan memandang akan hal yang berbau logika dan
penalaran semata, karena itu semua
akibat dari keterbatasan ilmu yang
dimilikinya. Ilmu yang manusia miliki
tidak mencakup berbagai hal, namun
terbatas hanya pada bidangnya saja. Sehingga manusia terkadang
melupakan Allah yang memiliki lautan
ilmu.” urai Syekh Siti Jenar, seraya
langkahnya terhenti. Sejenak berdiri di
tepi jalan, matanya menyapu
tingginya puncak gunung yang diselimuti awan putih yang berlapis-l
apis.
“Bukankah manusia akan selalu merasa
pintar jika seandainya berhasil
menangani sedikit persoalan saja,
Syekh?” “Itulah manusia. Namun tidak
semuanya seperti itu. Tetapi itulah
watak orang kebanyakan. Maka jika
demikian tertutuplah pintu ilmu
berikutnya, terhalang oleh
keangkuhan dan kecongkakan yang terselip dalam batinnya.” ujar Syekh
Siti Jenar. “Berbeda jika dibandingkan
dengan manusia yang batinnya
terang. Dia tidak akan pernah berbuat
congkak, apalagi sombong, yang bisa
membutakan mata hatinya. Sehingga orang seperti itu akan selamanya
sanggup memahami segala hal
dengan jernih….”
“…sangat sulit, Syekh.” Kebo Kenongo
menarik napas dalam-dalam. “…pantas
saja diri Syekh bisa terangkat pada derajat ma’rifat, karena telah sanggup
membersihkan batin dari noda-noda
tadi. Mungkin saya sulit mencapai
ma’rifat tadi karena batin ini masih
dijejali dan dikotori hal-hal yang
membutakan, menghalangi, mengganggu dan merintangi. Pada
intinya masih berbau keangkuhan,
kesombongan, angkara, rasa iri dan
dengki. Namun rasanya sulit untuk
melepaskan hal-hal tadi, Syekh.
Mungkin karena kesulitan itu datang akibat kita berada dalam hiruk pikuk
kemewahan duniawi, yang selalu hadir
di sisi kiri, kanan, depan, dan belakang
kita?” “…jangan salah, Ki Ageng. Bukankah
setiap manusia hidup memerlukan
kebutuhan jasadiyah?” timpal Syekh
Siti Jenar. “Duniawi adalah kebutuhan
lahiryah, sedangkan menuju ma’rifat
adalah proses perjalanan batin menuju akrab.” “Benar, Syehk. Namun jika gangguan
duniawi sangat terlalu kuat, bisa
menggelapkan mata batin. Sehingga
kita selalu memperjuangkan
kepentingan jasadiyah tanpa kendali
dan melupakan kebutuhan batinnya. Nah, untuk menyeimbangkan itulah
yang sangat sulit.” “Sebetulnya kita tidak perlu seimbang
dulu. Namun itu terlalu berat untuk
kebanyakan orang dan tidak mungkin
dapat tercapai. Sebab bagi yang telah
ma’rifat dan akrab tidak perlu jauh
melangkah tinggal mengatakannya, apa yang diinginkan akan datang atau
berada dalam genggaman.” terang
Syekh Siti Jenar, lantas membuka
telapak tangannya dan diacungkan ke
langit, lalu dikepalkan. “…lihatlah!
Inikah yang Ki Ageng inginkan?” “Syekh, rasanya sangat berat untuk
menempuh jalan ma’rifat.” Kebo
Kenongo nampak tidak ceria.
“Ya, tentu saja.” “Mungkinkah saya harus bertahap?
Menurut tahapan ilmu, Syekh?” “Tidak selalu, Ki Ageng Pengging.”
Syekh Siti Jenar perlahan bangkit dari
duduknya. “Bukankah saya
menyarankan jika seandainya andika
kesulitan mengikuti ilmu Islam,
hendaknya ikutilah ajaran agama yang andika anut. Bukankah andika tinggal
satu atau dua langkah lagi menuju
ma’rifat, setelah itu akrab. Orang yang
akrab dengan Allah itulah seperti yang
pernah saya uraikan sebelumnya.” “Ya,” Kebo Kenongo menggeleng, “Itu
dibicarakan sangatlah mudah, Syekh.
Namun untuk melaksanakannya
terasa berat, dan sulit untuk membuka
tabirnya. Jika sekali saja tabir itu sudah
terbuka tentulah berikutnya akan lebih mudah.” “Benar,” Syekh Siti Jenar terdiam
sejenak, matanya yang sejuk dan
tajam beradu tatap dengan Kebo
Kenongo. “Ya, hanya Sunan Kalijaga
yang bisa…” gumamnya.
“Sunan Kalijaga?” “Tidak perlu dipikirkan! Apalagi
mempertanyakannya.” Syekh Siti Jenar
kembali ke tempat duduknya. “Benar, Syekh. Andika selain bisa
membaca keinginan batin saya juga
dapat membuktikannya hanya
dengan mengepalkan tangan.” Kebo
Kenongo menggeleng-gelengkan
kepala, seraya memujinya.
No comments:
Post a Comment