[1]
Sesunggunghnya
setiap amal ibadah terdapat dua aspek, yaitu lahiriyah dan batiniyah.
Syahadat, sholat, zakat, puasa, haji-dari amal semua itu kebanyakan dari
manusia hanya memperhatikan aspek lahiriyah, sedikit diantaranya yang
memahami aspek batiniyah, sehingga amal ibadah tidak membekas dalam
perilaku sehari-hari yang sebenarnya dipancarkan dari kemuliaan
batiniyahnya.
[2]
Sholat itu dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Salam dua kali, yaitu kekanan dan kekiri. Bukan salam ke kanan aja, atau salam kekiri aja.
Tahukah
engkau apa maksud salam kekanan dan kekiri? Yaitu Allah melalui
hambaNya mengucapkan salam kepada semua golongan, golongan kanan dan
golongan kiri, golongan baik dan golongan buruk.
[3]
Jangan
hanya belajar bagaimana khusuk didalam sholat, belajarlah tentang
bagaimana perilaku khusuk diluar sholat. Karena sesungguhnya kekhusukan
sholat samar terlihat didalam sholat, tapi jelas terlihat pada perilaku
khusuk diluar sholat.
[4]
Apabila
sholat belum merupakan proses pencegahan perbuatan keji dan mungkar,
serta pengguyuran hujan manfaat bagi orang lain, maka sukar untuk
membantah bahwa sholat sekedar berkualitas seperti gerakan robot dengan
angan kosong.
[5]
Pada sholat berjamaah, Seorang Imam mengatakan; “Sawwuu shufufakum”.
Rapatkan dan luruskan shaf tidak hanya barisan jamaah hingga
bersentuhan bahu dan badan meraka. Shaf jamaah yang ada di dalam
dirimulah yang utama dirapatkan dan diluruskan sehingga setan tidak ada
cela untuk masuk didalam hatimu.
[6]
Salam
dan keselamatan tercurahkan kepada engkau semua dari Tuhan yang Maha
Pengasih (sambil menoleh ke kanan). Salam dan keselamatan tercurahkan
kepada engkau semua dari Tuhan yang Maha Pengasih (sambil menghadap ke
kiri).
Allah memberikan salam dan keselamat kepada semua makluknya (golongan kiri dan kanan) melalui sholat yang dikerjakan hambanya.
[7]
Tidak
ada pekerjaan yang paling ringan kecuali meninggalkan sholat. Dan tidak
ada sesuatu yang paling dekat dengan dunia kecuali akhirat.
[8]
Kalau engkau bersujud dan seluruh badanmu engkau sujudkan pula kepada Allah, engkaulah ‘Sofiullah’ [1].
Kalau engkau bawa hatimu untuk mencintai dan yang engkau cintai seluruhnya adalah Allah, engkaulah adalah ‘Kholilullah’ [2].
Kalau engkau mendengar dan seluruh yang engkau dengar adalah Allah, engkaulah ‘Ayatullah’ [3].
Kalau
engkau bernafas dan seluruh tarikan dan hembusan nafas yang engkau
lakukan adalah jalan untuk kembalimu kepada Allah, engkaulah ‘Ruhullah’ [4].
Kalau
engkau berjalan dimuka bumi dan engkau tundukkan segala langkahmu pada
langkah Allah, sehingga segala apa yang engkau berikan adalah
keselamatan kepada seluruh makluk, engkaulah ‘Rasulullah’ [5].
[1] Sofiullah, sifat-sifat Allah-seperti gelar yang diberikan kepada Nabi Adam.
[2] Kholilullah, kholifah Allah-seperti gelar yang diberikan kepada Nabi Ibrahim.
[3] Ayatullah, ayat-ayat Allah-seperti gelar yang diberikan kepada nabi Musa.
[4] Ruhullah, ruhnya Allah-seperti gelar yang diberikan kepada Nabi Isa.
[5] Rasulullah, utusa Allh-seperti gelar yang diberikan kepada Nabi Muhammad.
[9]
Masjid
bukan hanya bangunan tembok, kayu dan kubah. Dimanapun kamu bersujud,
maka disitulah terbangun masjid. Karena sesungguhnya masjid seluas
semesta alam
[10]
Rasulullah
Muhammad apabila menghadap Tuhannya, yang dikedepankan adalah
kepentingan umatnya. Sebaliknya apabila menghadap umatnya, yang
dikedepankan adalah kepentingan Allahnya.
Sedangkan kebanyakan manusia dimanapun menghadap, yang dikedepankan adalah kepentingan diri sendiri.
[11]
Disempurnakan
pendirian sholat dengan empat gerakan; berdiri, ruku’, duduk dan sujud
agar yang mengerjakan tahu bahwa dirinya tersusun dari api, angin, tanah
dan air.
Gerakan berdiri menunjukkan
bahwa ia tersusun dari api, ruku’ menunjukkan bahwa ia tersusun dari
angin, duduk menunjukkan bahwa ia tersusun dari tanah, dan sujud
menunjukkan ia tersusun dari air.
[12]
Janganlah
engkau menengadahkan tanganmu untuk menerima sesuatu dari pada makluk,
melainkan engkau melihat bahwa Si Pemberi itu adalah Tuhanmu jua. Dan
jangan engkau mengulurkan tanganmu untuk memberi sesuatu kepada makluk,
melainkan engkau melihat bahwa Si Penerima itu adalah Tuhanmu jua[1].
[1] Hikam, Ibnu Athailah.
[13]
Banyak
orang beriman kuat menahan lapar, karena cukuplah perut yang
melakukannya. Tapi sedikit dari mereka yang mampu berhenti makan sebelum
kenyang, karena hal itu tidak hanya membutuhkan keimanan saja, tapi
lebih membutuhkan dimensi rohani tinggi untuk melakukannya[1].
[1] Emha Ainun Nadjib.
[14]
Kalau
puasa dilakukan sekedar menahan haus dan lapar dengan berpedoman pada
tidak memasukkan makanan untuk dimakan. Dengan tidak meninggalkan
substansinya, maka puasa dapat dilakukan dengan cara berhenti makan
sebelum kenyang, atau bahkan tidak makan makanan yang disukai untuk
dimakan, serta memakan makanan yang tidak disukai untuk dimakan, itupun
puasa.
[15]
Ramadhan
artinya membakar dosa, maka bakarlah dosamu hingga setiap bulan menjadi
bulan Ramadhan, setiap minggu adalah pintu rahmat, setiap hari adalah
ampunan, setiap malam adalah Lailatul Qadar, setiap jam adalah pembebasan dari neraka, setiap menit dan detik adalah Hari Raya.
[16]
Tidak
melepas pakaian untuk berihram seorang yang berhaji kecuali untuk
menghilangkan segala perbedaan antara sesama makluk dihadapan Khaliknya.
Tidak
melakukan Sa’i antara Shofa dan Marwa seorang yang berhaji sebelum
mengetahui bahwa didalam dirinya ada perubahan bolak-balik dari puncak
manusia sebagai sebaik-baik ciptaan (fi ahsani taqwim) menuju titik nadir manusia sebagai seburuk-buruk ciptaan (asfala safilin).
Tidak
melakukan tahalul dengan memotong rambut seorang yang berhaji kecuali
rambut yang dipotong untuk mengendalikan nafsu amarah, lauwamah dan
mulhimah.
Tidak melakukan lontaran jumrah
terhadap Ula, Ustha, dan Aqabah seorang yang pergi haji kecuali
melempar setan didalam dirinya yang selalu mengajak menyembah hawa nafsu
manusia itu sendiri.
Tidak melakukan tawaf mengitari Ka’bah seorang yang berhaji kecuali mengajak tujuh orbit nafsunya untuk tunduk kepada Allah.
Tidak
melakukan wukuf dipadang Arafah seorang yang berhaji kecuali meleburkan
segala kekuatan dan pengakuan yang ada didalam dirinya hingga melebur
kepada Allah semata.
Dan tidak melakukan haji seseorang yang berhaji kecuali terus menerus sepanjang hidupnya.
[17]
Tidak
ada manfaat orang melempar batu (balang jumra) walau 1000 kali pada
waktu haji, kecuali ia berniat melempar setan yang ada pada diri mereka
sendiri.
[18]
Ketahuilah
bahwa shahadat, sholat, zakat, puasa, haji lahiriyahnya berbeda.
Batiniahnya sama yaitu penggiringan hati menuju Rabnya. Seperti inilah
yang dimaksud kejadian manusia dikumpulkan di padang maksyar.
[19]
Barang
siapa yang beribadah karena sesuatu yang dia diharapkan dan menolak
sesuatu yang dia takutkan daripadaNya, sesungguhnya tiadalah dia
benar-benar menegakkan hak bagi sifat-sifat Tuhan atas dirinya.
[20]
Orang
yang menguasai ilmu agama Islam belum tentu seorang Muslim. Orang yang
pintar mengaji belum tentu berkelakuan baik. Orang yang beristighatsah
dan bershalawat belum tentu gerakannya itu ada kaitan murni dan
substansial dengan makna istighatsah dan shalawat. Orang memakai pakaian
dan atribut Islam belum tentu orang yang sholeh[1].
[1] Emha Ainun Nadjib.
[21]
Ujian
utama Tuhan kepada manusia ialah Mata Pelajaran Uang. Uang itu adalah
kertas ujian yang sangat sulit diselesaikan jawabannya. Jarak jauh dan
dekatnya uang terhadap hatimu mencerminkan baik dan tidaknya amal
ibadahmu.
[22]
Bagaimana
engkau tekun melakukan ibadah karena mengharap pahala (surga), sedang
Rasulullah Muhammad sudah dijamin masuk surga, siang-malam terus
melakukan ibadah. Hendaklah hal itulah menjadi pengetahuan bagimu.
[23]
Bagaimana
seorang dapat menuntut upah (pahala surga) bagi sesuatu amal yang
sebenarnya Tuhan sendiri telah mensedekahkan amal tersebut kepadanya[1].
[1] Hikam, Ibnu Athailah.
[24]
Wahai
anakku. Pergilah masuk ke dalam dirimu sendiri, telusurilah
perbuatan-perbuatanmu sendiri, dan juga masuklah ke urusan-urusan
manusia di sekitarmu, pergilah ke panggung-panggung dunia yang luas.
Tekunilah,
temukanlah salah benarnya ucapan-ucapanku kepadamu. Kemudian
peliharalah kepekaan dan kesanggupan untuk tetap bisa menangis. Karena
alhamdulillah, seandainya sampai akhir hidupmu hanya diperkenankan untuk
menangis karena keadaan-keadaan itu. Maka airmata saja pun sanggup
mengantarkanmu kepada Nya.
[25]
Kalau
orang beribadah, melakukan amal kebaikan boleh saja bertujuan untuk
surga, tapi surga bukan puncak tertinggi. Dalam martabat nafsu, surga
berada dilevel menengah yaitu nafsu (jiwa) “Mutmainah”. Tingkat berikutnya adalah “Radhiah”, “Mardiah”, “Kamalia”.
Ketahuilah
bahwa semuanya martabat nafsu ada tujuh; amarah, lauwamah, mulhimah,
mutmainah, radhiah, mardiah, kamalia. Inilah yang disebut langit shaf
tujuh.
[26]
Sejelek apapun diri kita semoga masih tergolong “Minatdzulumati ilannur”, yaitu golongan yang bergerak dari kegelapan menuju cahaya.
[27]
Janganlah
sekali-kali engkau mencari ilmu pada benda-benda mati[1], sedangkan aku
Rasuluulah Muhammad mencari ilmu dari Dzat yang Hidup[2].
[1]
Manusia itu benda mati, malaikat itu benda mati, Jibril itu benda mati,
Al-Quran-kitab kitab itu benda mati, Roh Kudus itu benda mati, nabi
rasul itu benda mati, auliya itu benda mati, wali itu benda mati, bulan
bintang matahari itu benda mati. Semua benda mati.
[2] Dzat Yang Maha Hidup adalah Allah.
[28]
Ya Allah, hamba berlindung kepada Mu.
Hamba
berlindung kepada Mu dari kesombongan sebagai orang berkuasa, yang
berdiri gagah tanpa punya malu karena merasa dirinya lebih tinggi dari
manusia lain.
Hamba berlindung kepada Mu
dari kesombongan sebagai orang kaya yang berjalan acuh dan mendongakkan
kepala karena merasa dirinya lebih penting dari orang lain.
Hamba
berlindung kepada Mu dari sifat kesombongan orang pandai yang selalu
merasa dirinya lebih hebat dari lainnya, sehingga kami membuka mulut
lebar-lebar dan memutahkan hujatan kata yang berasal dari perasaan hebat
yang ada pada dirinya.
Hamba berlindung
kepada Mu dari sifat kesombongan orang mashur yang selalu merasa dirinya
lebih khusus dibanding orang lain disekitarnya dan menyangka kemashuran
adalah kelebihan derajat dari orang lain.
Ya
Allah hamba benar-benar berlindung kepada Mu dari sifat kesombongan
orang sholeh yang sibuk merasa bahwa yang selain dirinya adalah najis,
dan tidak punya kemampuan lain kecuali merasa dirinya paling suci dan
selalu benar, yang beranggapan bahwa Engkau adalah anak buah-nya, yang
beranggapan bahwa bahwa para Nabi dan Rasul adalah staf-nya untuk
melaksanakan kepentingan dirinya dan golongannya[1].
[1] Emha Ainun Nadjib.
[29]
“Asa an tukrihu syai-an wa huwa khoirul-lakum, wa 'asa an tuhibbu syai-an wa huwa syarrun lakum [1]”.
Apa
yang selama ini engkau singkirkan, engkau anggap buruk, engkau coreng
mukanya, engkau remehkan, engkau rendah-rendahkan atau engkau buang ke
tong-tong sampah, akan menohok kesadaranmu dan engkau akan dipaksa
menyadari bahwa sesungguhnya yang engkau anggap buruk itulah yang baik
bagi kehidupanmu.
Sebaliknya segala
sesuatu yang engkau junjung-junjung, engkau blow-up, engkau puja-puji,
engkau bela mati-matian, engka sangka akses utama masa depanmu, akan
hina di depan matamu dan engkau dipaksa menyadari bahwa ternyata ia
sesungguhnya buruk bagi hidupmu[2].
[1] QS. Al Baqarah: 216.
[2] Emha Ainun Nadjib.
[30]
Sebelum mencapai “Madinatul I'lmu” (kotanya ilmu) cari dulu “Babul I'lmu” (pintunya ilmu). Dan sesungguhnya seorang yang telah berada didalam “Madinatul I'lmu” maka Allah memberikan pengetahuan terhadap rahasia-rahasia Nya.
“Madinatul I’lmu” adalah rahasia-rahasia ilmu, sedang Babul I’lmu adalah hikmah-hikmah ilmu.
[31]
Allah
kadang menghiasi kita dengan pakaian wali, hingga kita terpedaya oleh
indahnya waktu dengan segala kemuliaannya. Dan kita merasa telah menjadi
kekasihNya. Padahal sesungguhynya kita telah tertimpa “Istidroj” (dibombong).
Allah
kadang menghiasi kita dengan kemuliaan, pangkat dan kepemimpinan, serta
posisi terhormat di hadapan publik, sehingga kita terjebak dalam pujian
manusia dan kita menyangka bahwa kita ini termasuk orang yang meraih
keutamaan. Mungkin inipun sesungguhnya “Istidroj”.
Begitu
pula Allah kadang menghiasi kita dengan ragam hikmah yang lembut, lalu
kita terjebak dengan keindahan bahasa sastra dan hikmah, lalu kita
menyangka diri kita telah melampaui pengetahuan semua hakikat. Padahal
ini hanya “Istidroj”.
Bahkan
kadang Allah menghiasi kita dengan berbagai nikmat, dan kita tenggelam
dalam kenikmatan-Nya, lalu kita terjebak pada keindahan dan bagusnya
nikmat itu. Kita menyangka bahwa diri kita telah mendapat sesuatu dari
Allah Ta’ala. Padahal semua itu hanyalah “Istidroj [1]”.
[1] Emha Ainun Nadjib.
[32]
Tuhanku, Engkau Maha Mengetahui bahwa aku adalah mahkluk yang lemah, maka berilah kepandaian kepada ku.
Yakni kepandaian untuk mengatahui bahwa yang benar itu benar, kepandaian untuk mengetahui bahwa yang salah itu salah.
Lalu
berikanlah kesanggupan kepadaku untuk melaksanakan segala kebanaran,
serta berikanlah pula kekuatan kepadaku untuk meninggalkan segala
kesalahan.
“Allahuma arinal haqa haqa warjuknatibaah, wa arinal baatila baatila warzuknattinabah [1]”
[1] Al Hadist.
[33]
“Subhanalladzi asro biabdihi lailam minal masjidil haroomi ilal masjidil aqso”. Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha.
Hidup
ini dijalankan bukan jalan sendiri, hidup ini dipilihkan bukan memilih
sendiri. Hidup manusia dari mulai lahir sampai mati sudah ditetapkan
pilihannya bukan menetapkan pilihan sendiri. Sesungguhnya tiap-tiap
manusia itu telah ditetapkan amal perbuatannya sebagaimana tetapnya
kalung pada leher mereka.
Hidup ini malam
hari bukan siang hari. Manusia tidak tahu apa yang terjadi esok hari,
tidak tahu apa yang terjadi satu jam kedepan, tidak tahu apa yang
terjadi satu menit kedepan, tidak tahu apa yang terjadi satu second
kedepan, tidak tahu apa yang terjadi seper sekian second kedepan.
Hidup
ini mundur ke belakang bukan maju kedepan. Hidup ini kembali kepada
asal, kembali ke kampung halaman. Sesungguhnya dari Allah, manusia
berasal dan kepadaNyalah, manusia dikembalikan.
[34]
“Demi
bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula
keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu Al-Quran menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
kepadanya, yang diajarkan kepadanya oleh Jibril yang sangat kuat, yang
mempunyai akal yang cerdas, dan Jibril itu menampakkan diri dengan rupa
yang asli, sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat,
lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat pada Muhammad sejarak
dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi. Lalu dia menyampaikan
kepada hambaNya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan[1]”.
Al-Qur’an
turunkan dengan syarat hati harus bersih (tidak menuruti hawa nafsunya)
dan akal harus cerdas. Hati yang bersih ialah seperti yang dicontohkan
oleh Muhammad, dan akal yang cerdas ialah seperti yang dicontohkan oleh
Jibril[2]. Dan apabila diposisikan pada diri manusia, keduanya sejarak
antar dua ujung busur panah, bahkan lebih dekat lagi. Yaitu jarak antara
dada dan kepala manusia.
[1] QS. An Najm: 1 s/d 10.
[2]
Jibril itu diri Muhammad sendiri. Pada tiap diri manusia, Jibril selalu
ada bersama Muhammad tergantung seberapa cerdas akal yang dimiliki dan
seberapa bersih hatinya. Akal disimbolkan berada di kepala dan Muhammad
disimbolkan berada di dada kiri, keduanya sejarak antar dua ujung busur
panah, bahkan lebi dekat lagi.
[35]
Sesungguhnya perjalanan spiritual seorang menuju Rab-ya akan menapaki tahap-tahapan;
Pertama,
tahapan 'Abid, yaitu seorang yang tekun beribadah kepada Allah dengan
tujuan ingin masuk surga dan selamat dari siksa neraka.
Berikutnya
tahapan Mukhlis, yaitu orang yang beribadah hanya semata karena Allah
bukan karena ingin masuk surga, ataupun selamat dari neraka.
Tahapan yang lebih tinggi lagi adalah tahapan Muhib, yaitu orang yang cinta kepada Allah.
Tahapan berikutnya lagi, yaitu Al- 'Arif yaitu orang yang ma'rifat kepada Allah SWT.
Dalam
perjalanan tahap Muhib menuju ke tahapan 'Arif, seseorang akan
mengalami empat jenjang tajalli[1]; Tajalli 'Afal[2], Tajalli
Asma’[3],Tajalli Sifat[4], dan Tajalli Dzat[5].
Apabila ia telah sampai pada tahapan tajalli Dzat. maka berarti ia tengah berada pada maqom' Arifin (ahli ma'rifat).
[1] Tajalli adalah kenampaan yang dialami seorang dengan merasakan bahwa keberadaan Allah yang ada dimana-mana.
[2] Tajalli Af'al adalah kenampaan bahwa segala perbuatan adalah perbuatan Allah.
[3] Tajalli Asma’ adalah kenampaan bahwa segala nama adalah nama Allah.
[4] Tajalli Sifat adalah kenampaan bahwa segala sifat adalah sifat Allah.
[5]
Tajalli Dzat adalah kenampaan bahwa segala bentuk adalah bentuk Allah.
Tajalli ini merupakan yang paling berat diterima diantara Tajalli yang
lain.
[36]
Tahukah
engakau Isra’ Mi’raj? Pernakah melakukannya? Isra' tidak lain adalah
perjalanan secara ilmu dari tahapan akal (Masjidil Haram) menuju tahapan
hati (Masjidil Aqsa), dan Mi'raj adalah perjalanan secara ilmu dari
hati (Masjidil Aqsa) menuju ruh (Sidratul Muntaha).
Setiap saat, setiap orang mukmin bisa melakukan Isra' Mi'raj. "As shalatu Mirajul Mu'minin".
Sholat itu bukan hanya pergerakan fisik, tapi lebih dari itu, yaitu
perjalanan batin menuju ufuk yang terjauh (Sidratul Muntaha) untuk
menghadap Allah.
Apabila telah mencapai
Sidratul Muntaha, maka seorang berada pada kondisi batin yang paling
dekat dengan Allah, sehingga tidak ada jarak. Dan apa yang dilihat pada
saat itu di kanan dan dikiri adalah cahaya (Nurullah), demikian dirinya
juga telah melebur menjadi cahaya.
[37]
Apakah
orang yang beribadah dengan tidak mengenal kepada Allah lebih
beruntung, ataukah orang yang berma’rifat kepada Allah, ia beribadah
setiap waktu baik pada waktu berbaring, duduk, dan berdiri, sedang ia
mengharap pertemuan dengan Tuhannya?
Katakanlah,
"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran[1].
[1] QS. Az Zumar: 9.
[38]
Tidak
sekali-kali Allah menerima amal sholeh seorang, kecuali amal ibadah
tersebut untuk dirinya sendiri, yaitu kenampaan dari hatinya yang bersih
serta ternjaga dari perbuatan keji dan mungkar.
“Barangsiapa
yang mengerjakan amal sholeh, maka itu adalah untuk dirinya sendiri,
dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan, maka itu akan menimpa
dirinya sendiri[1]”. Allah tidak terangkat atau menurun derajatnya atas
amal dan kejahatan yang manusia lakukan.
“Dan
barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk
dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya tidak
memerlukan sesuatu dari semesta alam[2]”.
[1] QS. Al Jaatsiyah: 15.
[2] QS. Al 'Ankabuut: 6.
[39]
Janganlah
engkau meniru mereka yang menganggap Tuhannya adalah pedagang. Yaitu
mereka yang gemar melakukan ibadah agar bisa masuk surga, dan tidak ada
keinginan sama sekali untuk bertemu Tuhannya. Mereka menganggap
kenikmatan surga dapat ditukar amal ibadahnya, padahal Allah Maha Kuasa
tidak membutuhkan sedikitpun dari amal ibadah dan pujian mereka.
Dan
saat malaikat menghadap Tuhan membawa catatan amalan Si Fulan “Ya
Allah, kami membawa catatan Si Fulan yang selama di dunia diisi dengan
amal ibadah kepada Mu. Sepatutnyalah Engkau masukan ia ke Surga- Mu”.
Jawab Tuhan "Tidak! Campakan catatan dan pemiliknya ke neraka, karena
aku tidak membutuhkan amalan ibadah manusia".
[40]
Sesungguhnya
ada empat langkah yang tidak bisa salah satu ditinggalkan sehingga bisa
mencapai kesempurnaan dari amal ibadah yang engkau lakulan, yaitu;
Syariat, Tharekat, Hakikat, dan Ma’rifat.
“Asy-syari’atu aqwali wath-thariqatu af’ali wal-haqiqatu ahwali al-ma’rifatu sirri[1]- Syariat itu perkataanku, Tharekat itu perbuatanku, Hakikat itu tingkah lakuku dan Ma’rifat rahasiaku”.
Apabila
engkau telah mencapai Ma’rifat, maka terbukalah tirai hingga antara
engkau dan Allah menjadi sepandangan. Dalam keadaan yang demikian itu
maka engkau tidak melihat wujud alam semesta dan dirimu sendiri kecuali
Allah.
“Man nazhara ila syai’in wa lam yarallaha fihi fahuwa bathilun – Barang siapa yang memandang sesuatu dan ia tidak melihat Allah disesuatu tersebut, maka dia itu sia-sia[2]”
Demikian juga dikatakan, “Man ra’aitu syai’an illa wa ra’aitullaha fihi – Aku tidak melihat sesuatu melainkan aku melihat Allah di dalamnya[3]”.
Keempat
langkah tersebut apabila dapat melaksanakan maka engkau akan bisa
merasakan rasa yang sejati-sejatinya rasa[4], yaitu rasa bersatunya
manusia dengan Allah-Wahdatul wujud.
[1]Al Hadist.
[2] Al Hadist.
[3] Perkataan Ali Bin Abi Thalib.
[4]
Rasa yang sejati-sejatinya rasa, adalah rasa yang nikmat tidak ada
tandinganya walaupun dibandingkan dengan kenikmatan surga.
[41]
Sebenarnya
segala urusan itu adalah kepunyaan Allah. Maka tidakkah orang-orang
yang beriman itu mengetahui bahwa seandainya Allah menghendaki semua
manusia itu beriman, tentu Allah memberi petunjuk kepada manusia
semuanya[1]. Maka janganlah engkau mencela betapapun sesatnya amal
pebuatan mereka[2]. Dan hanyalah kepada Allahlah dikembalikan segala
urusan[3].
Dan janganlah saling
mempertentangkan segala urusan karena merasa benar, hendaklah segala
urusan yang dipertentangan umat dikembalikan kepada Allah. Cukuplah
kebenaran Al-Qur’an itu untuk menilai dirimu sendiri.
[1] QS. Ar Ra’d: 31.
[2] Apabila mencela amal perbuatan sesat mereka, maka sama saja mencela perbuatan Allah.
[3]
Hal ini banyak disebutkan dalam Al-Quran; QS. Al Anfaal: 44, QS. Al
Baqarah: 210, QS. Asy Syuura: 53, QS. Faathir: 4, QS. Luqman: 22, QS. Al
Hajj: 41, QS. Al Hadiid: 5.
---------------Selesai
No comments:
Post a Comment