[1]
Al-Qur’an
memberikan banyak ayat yang menyeru agar manusia mau berfikir[1]. Akal
manusia merupakan alat berfikir disebutkan dibanyak ayat di dalam
al-Quran[2].
[1] Yaitu proses kognitif terhadap
pengambilan hikmah dari kejadian alam semesta dan kehidupan. Proses
berfikir sebagai karakter utama manusia mendapat banyak perhatian yang
istimewa dalam al-Qur’an.
[2] Akal disebutkan sebanyak 49 kali, yang semuanya dalam bentuk kata kerja “fi’il”. Alat berfikir di dalam al-Quran juga disebut “Al-Qalb”, “Al-Fu’ad”, “Al-Nuhâ”, “Al-Hijr”, “Al-Hilm” dan “Al-Lubb” yang semuanya juga berarti akal fikiran.
[2]
Tiga kelompok ayat-ayat yang menyerukan pentingnya proses berfikir bagi manusia;
Pertama.
Ayat-ayat yang menyerukan berfikir dan penggunaan akal sebagai kekuatan
alami yang dimiliki seluruh manusia; “Dan Dia menundukkan malam dan
siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan
(untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar ayat-ayat bagi kaum yang mau menggunakan akal[1]”.
Kedua.
Ayat-ayat al-Qur’an yang ditujukan khusus kepada para Ulul Albab, kaum
intellektual, mereka yang memiliki kemampuan berpikir secara
sempurna[2]. Diantara ayat-ayat ini; “Adakah orang yang mengetahui
bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama
dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang
dapat mengambil pelajaran (Ulul Albab)[3]”.
Ketiga.
Ayat-ayat mencela manusia yang tidak mau berfikir dan tidak mau
menggunakan akalnya. Al-Qur’an menggunakan kalimat tanya yang bersifat
negatif; “Apakah kamu tidak menggunakan akal fikiran (Afalaa ta'qiluuna)?”, Apakah kamu tidak berfikir (Afalaa tatafakkaruuna)?”, “Apakah kamu tidak melihat (afala tubsiruuna)?”, “Apakah kamu tidak ingat (Afalaa tadzakkaruuna)?”, “Apakah mereka tidak mendalami (Afala tadabbarun)?”.
Ayat-ayat
yang mencela manusia yang tidak mau berfikir; “Jijik perasaan-Ku
terhadap kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah! Maka mengapa kamu
tidak mau menggunakan akal fikiran kamu?[4]”.
Bahkan
dalam banyak ayat Allah mensifatkan manusia yang tidak mau berfikir
sama dengan binatang dan bahkan lebih hina dari pada binatang; “inna syarra alddawaabbi 'inda allaahi alshshummu albukmu alladziina laa ya'qiluuna - Sesungguhnya
sejahat-jahat makhluk yang melata, pada sisi Allah, ialah orang-orang
yang pekak dan tuli, yang tidak mahu memahami sesuatupun dengan akal
fikirannya[5]”
[1] QS. An Nahl: 12. Ayat-ayat seperti ini
juga terdapat QS. Al-Baqarah: 164, QS. Ar Ra’d: 4, QS. Al-Nahl: 64,
QS. Ar Ruum: 24. Semua ayat-ayat tersebut di atas diakhiri dengan
pernayataan “Li qaumin ya’qiluna”, yaitu “Bagi kaum yang mau
menggunakan akal” sebagai penekanan terhadap sesuatu yang secara alami
merupakan suatu keharusan untuk dipikirkan dan dipahaini, yaitu semua
fenomena dan kejadian alam semesta ini dengan bebas.
[2]
Orang-orang ini disebut dalam al-Qur ‘an sebanyak 16 kali, yang semuanya
berirama pujian dan penghormatan, hal ini karena mereka menurut
al-Qur’an adalah orang-orang yang memiliki tingkatan yang tinggi di
dalam berfikir.
[3] QS. Ar Ra’d: 19.
[4] QS. Al-Anbiyaa’: 67.
[5] QS. Al-Anfaal: 22. Terdapat juga di QS. Al-Furqaan: 44.
[3]
"Yaa
ma'syara aljinni waal-insi ini istatha'tum an tanfudzuu min aqthaari
alssamaawaati waal-ardhi faunfudzuu laa tanfudzuuna illaa bisulthaanin [1]"
Hai
para 'hati' dan 'akal'[2] manusia, jika kamu sanggup menembus penjuru
langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali
dengan kekuatan.
"Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaani [3]"
Maka ni'mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
Sungguh
manusia dengan kekuatan (sulthaan) hati dan akal yang dimilikinya
ditantang oleh Tuhan untuk menembus langit dan bumi. Yaitu Langit dan
bumi yang ada di dalam dadanya sendiri, sehingga keduanya bisa mencapai
Tuhannya, hati dan akal yang mampu mencapai tahapan ruh yang selalu
menyatu bersama Allah.
Tapi nikmat yang diberikan itu, kebanyakan manusia mendustakannya.
[1] QS. Ar Rahmaan: 33.
[2] Apabila 'Aljinni waal-insi '' diartikan
hati dan akal. Jin itu ada yang kafir dan ada yang mukmin, hal ini
menggambarkan hati manusia yang berubah rubah-rubah diantara keimanan
dan kekafiran, demikan juga akal diantara keimanan dan kekafiran.
Sehingga QS. An Naas: 6 dikatakan bahwa syetain itu "Mina aljinnati waalnnaasi" , dari golongan jin dan manusia. Sebenarnya syetan itu sifat dari hati dan akal manusia itu sendiri.
[3] QS. Ar Rahmaan: 34.
----------------Selesai
No comments:
Post a Comment