Monday, 19 August 2013

cahaya diatas cahaya 11;- KISAH ITU MENJADI TUNTUNAN DAN PERINTAH

[1]
Engkau pasti tidak tahu apa hakikatnya ayat Al-Qur’an menceritakan tongkat Nabi Musa berubah menjadi ular[1].

Engkau pasti tidak tahu apa maksud ayat Al-Qur’an berulang kali menceriterakan tentang Nabi Musa dengan tongkatnya membelah laut[2].

Engkau pasti tidak tahu apa maksud ceritera masakan ikan bekal penggembaraan Nabi Musa yang dibawah Dzu Nun tiba-tiba menjadi hidup kembali begitu tiba di Majmaul Bahrain, yaitu pertemuan dua laut[3].

Engkau pasti tidak tahu apa maksud ceritra Nabi Musa menghidupkan orang mati dari potongan tubuh sapi betina yang telah di sembelih[4].

Engkau pasti tidak tahu pula maksud ceritera gunung Tursina hancur dan Nabi Musa pingsan, pada waktu Tuhan menampakkan diri[5].

Carilah pengetahuan agar engkau memahami hakikat dari kisah-kisah Nabi Musa yang telah banyak diceritakan Al-Qur’an.

[1] Terdapat di QS. An Naml: 10,  QS. Al Qashash: 31, QS. Al A'raaf: 107, QS. Thaahaa: 20, QS. Asy Syu'araa': 32.
[2] Terdapat di QS. Thaahaa: 77.
[3] Terdapat di QS. Al Kahfi: 61.
[4] Terdapat di  QS. Al Baqarah: 73.
[5] Terdapat di  QS. Al A'raaf: 143.

[2]
Sudah sampaikah kepadamu kisah pelacur yang kehausan ditepi sumur setelah melewati desa yang tidak tersedia makanan. Dengan sepatu yang diikat maka ia mengambil air. Sedang disampingnya ada seekor anjing yang sangat membutuhkan air tersebut, seketika air yang berhasil diambilnya diberikan kepada anjing yang juga sangat kehausan. Kemudiaan Tuhan mewafatkan ia dan memasukkannya ke dalam surga.

Apakah juga sampai kepadamu kisah Ashabul Kahfi yang dengan anjingnya melarikan diri dari Raja yang keji untuk masuk ke gua, hingga mereka dan anjingnya masuk surga. Sesungguhnya anjing itu perumpamaan hawa nafsu manusia.

Sejelek apapun kemaksiatan yang dilakukan hawa nafsu apabila diberikan petunjuk (ilmu), seperti pelacur memberikan air kepada seekor anjing, atau seperti Ashabul Kahfi melarikan anjingnya dari ajakan perbuatan keji dan bertobat kedalam gua, maka nafsu manusi dengan segala dosa yang telah diperbuat tersebut mendapat ampunan Tuhan.

[3]
Penolakan tentang ilmu tauhid dari orang awam sejak dari dulu sudah ada, walau dikalangan umat Islam sendiri.

Hal itu dijelaskan dalam Al-Qur’an pada kisah Ashabul Kahfi setelah tidur didalam gua selama 309 tahun[1] kemudian menukarkan uangnya untuk membeli makanan, tidak ada yang mau menerima.

Padahal uang Ashabul Kahfi (ilmu Tauhid) sebenarnya lebih berharga dari pada uang (ilmu-ilmu lain) yang demiliki oleh orang dipasar pada waktu itu.
[1] QS. Al Kahfi: 9-26.

[4]
Sesungguhnya Al-Qur’an tidak cukup hanya diartikan secara imanen, tapi arti secara transenden yang bisa membuka rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya.

Kisah-kisah Nabi Musa bertemu Khidir dan Rasul-Rasul lain didalam Al-Qur’an yang sebenarnya adalah pengertian transenden[1] bukan imanen.
[1] Pengetian transenden lain misalnya perintah nabi Ibrahim menyembelih Ismail, Nabi Musa diperintah melepas trompah di lembah Tua, kisah Ashabul Kahfi, Nabi Isa menghidupkan orang mati.

[5]
Banyak yang membaca ayat Al-Qur’an berupa ceritra berulang-ulang, tapi sedikit yang tahu bahwa sesungguhnya ayat itu perintah. Perintah seperti Khidir melubangi perahu[1], perintah seperti Musa memukulkan tongkat pada batu[2], perintah seperti Ibrahim menghancurkan  berhala-berhala[3], perintah seperti Sulaiman mendengar pembicaraan semut[4].
[1] QS. Al Kahfi: 7.
[2] QS. Al Baqarah: 60.
[3] QS. Al Anbiyaa': 58, QS. Ash Shaaffaat: 93.
[4] QS. An Naml: 19.

[6]
Dialog (ceritra) dalam Al-Qur’an ada interpersonal dan ada yang intrapersonal. Apabila ayat itu interpersonal berarti kejadiannya terjadi secara fisik. Tapi kalau ayat itu intrapersonal maka kejadiannya didalam diri manusia iru sendiri (batiniyah). Contoh Kisah Musa dan Khidir bisa dikatakan sebagai intrapersonal, kejadiannya didalam diri Musa sendiri. Kisah Iblis tidak mau sujud kepada Adam itu ceritra intrapersonal, tidak ada kejadian fisiknya.

[7]
“Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu”. Tanya Ibrahim pada anaknya. Ismail menjawab “Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar[1]”.

Perintah menyembelih anak tidak hanya untuk Ibrahim tapi untuk semua orang yang percaya dan beriman pada Tuhannya.

Sebenarnya Allah tidak pernah menyuruh menyembelih anak, Allah tidak pernah memerintahkan mengkurbankan sosok Ismail, karena Allah bukan Tuhan sadisme, bukan Tuhan kekerasan. Tetapi sosok berhala di hati manusia yang beriman, sosok berhala di hati Ibrahim-lah yang harus disembelih agar cintanya pada Tuhan tidak tersaingi dan tidak mendua oleh bentuk apapun.
[1] QS. Ash Shaaffaat: 102.

[8]
Allah memerintahkan kepada orang yang beriman dan beramal sholeh sebagaimana Ia memerintahkan Nabi Khidir untuk melubangi bahtera (perahu)[1], membunuh anak kecil tak berdosa[2], mendirikan tembok orang lain yang roboh tanpa meminta upah[3]. Tapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.
[1] QS. Al Kahfi: 71.
[2] QS. Al Kahfi: 74.
[3] QS. Al Kahfi: 77.

[9]
Rasulullah Muhammad bisa membuat perahu[1] seperti Nabi Nuh. Rasulullah Muhammad bisa mendengar suara semut[2] seperti Nabi Sulaiman. Rasulullah Muhammad bisa membelah laut seperti Nabi Musa. Rasulullah Muhammad bisa menghidupkan orang mati seperti Nabi Isa. Rasulullah Muhammad bisa membelah bulan[3].

Apabila seorang beriman mengetahui hakikat membuat perahu, mendengar suara semut, membelah laut, menghidupkan orang mati, maka orang tersebut juga bisa melakukannya.

Dan ilmu hakikat itu terletak di dalam batiniyah.
[1] Perahu adalah simbol penyelamatan diri dari banjir, yaitu kembali ke tuntunan Al-Quran. Banjir adalah simbol semakin banyaknya perbuatan dosa dan kemaksiatan disekeliling.
[2] Semut bersarang di dalam tanah adalah simbol dari hawa nafsu yang ada di dalam manusia, itulah yang harus dipahami.
[3] Membelah bulan artinya dengan ijin Allah membangkitkan hati manusia sehingga sadar akan keimanannya kepada Allah.

[10]
Seorang walaupun berderajat Nabi dan Rasul, bukan berarti paling tinggi keilmuannya. Nabi Musa AS seorang Nabi dan Rasul yang telah berhasil mengalahkan Fir'aun, sakti bisa membelah laut dengan sebilah tongkat masih harus berguru ilmu kepada Nabi Khidhir, itupun belum dijamin lulus.

 “Musa berkata kepada Khidhr: Bolehkah aku mengikutimu supaya engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu? Khidhir menjawab: Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. Dan bagaimana engkau dapat sabar atas sesuatu, yang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?[1]”.

“Musa berkata: Insya Allah engkau akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun. Khidhir berkata: Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu[2]”.

“Maka berjalanlah Musa dan Khidhir, hingga tatkala keduanya menaiki bahtera lalu Khidhir melubanginya. Musa berkata: Mengapa engkau melubangi bahtera itu akibatnya engkau menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya engkau telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar[3]”.

Khidhir menjawab: “Bukankah aku telah berkata. Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku. Musa melanjutkan: Janganlah engkau menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah engkau membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku[4]”.

Melubangi bahtera, artinya Khidir mengajari pada Musa agar mampu menghilangkan egonya, agar Musa mampu menghilangkan eksistensi dirinya sehingga tenggelam dalam eksistensi Allah yang diumpamakan samudra. Ternyata Musa tidak paham makna dari melubangi bahtera. Gugurlah Musa dalam ujian pertama oleh Khidhir.

“Berjalanlah kembali keduanya, hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhir membunuhnya. Musa berkata: Mengapa engkau membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya engkau telah melakukan suatu yang mungkar[5]”.

Khidhir masih berbaik hati dan mengatakan, “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya engkau tidak akan dapat sabar bersamaku?[6]” Musa masih meminta kesempatan sekali lagi, “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah kali ini, maka janganlah engkau memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya engkau sudah cukup memberikan uzur padaku[7]".

Musa gagal lagi, ia tidak paham arti dari membunuh seorang anak. Membunuh anak maknanaya sama dengan melubangi perahu. Yaitu menghilangkan keakuan yang selalu ingin dipuji laksana anak kecil.

“Maka keduanya melanjutkan berjalan lagi, hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang roboh, maka Khidhir menegakkan dinding itu. Musa berkata ‘Jikalau engkau mau, niscaya engkau mengambil upah untuk itu[8]”.

Untuk yang ketiga kalinya Musa masih tidak paham maksud perbuatan Khidhir, yaitu arti menegakkan dinding rumah yang roboh. Maksud Khidir menegakkan dinding rumah yang roboh adalah memberi pelajaran bahwa Musa dalam melakukan kebajikan atau amal ibadah kepada janganlah meminta upah, janganlah meminta pahala, janganlah meminta surga, karena sesunguhnya segala usaha kebajikan dan amal itu eksistensi adalah usaha Allah sendiri.

Ketiga perbuatan Khidhir yang ditunjukkan kepada Musa maksudnya adalah sama, yaitu mengajak Musa untuk menghilangkan eksistensi dirinya agar melebur kedalam Dzat Allah, sehingga tidak ada daya dan upaya melainkan Allah sendiri yang memiliki daya dan upaya tersebut.

Secara luas Khidhir memberi hikmah bahwa manusia itu tidak memiliki daya dan upaya apapun, benar-benar mati. Yang memiliki daya dan upaya, atau yang hidup hanyalah Allah semata. “Lahaula walakuwwata illa billah”.

Khidhr berkata “Inilah perpisahan antara aku dengan engkau, kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang engkau tidak dapat sabar terhadapnya[9]”.

Karena Musa tiga kali tidak lulus, Khidhir menjelaskan tiga perbuatan tersebut bukan secara hikmah, tetapi secara harfiah, yaitu: “Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak muda itu, maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang sholeh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu, dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang engkau tidak dapat sabar terhadapnya[10]”.
[1] QS. Al Kahfi: 66 s/d 68.
[2] QS. Al Kahfi: 69 s/d 70.
[3] QS. Al Kahfi: 71.
[4] QS. Al Kahfi: 72 s/d 73.
[5] QS. Al Kahfi: 74.
[6] QS. Al Kahfi: 75.
[7] QS. Al Kahfi: 76.
[8] QS. Al Kahfi: 77.
[9] QS. Al Kahfi: 78.
[10] QS. Al Kahfi: 79 s/d 82.

[11]
Pada saat Nabi Musa mendengan suara pengembala “Oh, di manakah Dikau, supaya aku dapat menjahit baju Mu, memperbaiki kasut Mu, dan mempersiapkan tempat tidur Mu?  Di manakah Dikau, supaya aku dapat menyisir rambut Mu dan mencium kaki Mu?  Di manakah Dikau, supaya aku dapat membawakan air susu untuk minuman Mu?”

Terkejut Nabi Musa lalu bertanya kepada pengembala dengan siapa dia sedang bercakap, dijawab oleh pengembala “Dengan Allah yang telah menciptakan kita.  Dengan Dia yang menjadi Tuhan yang menguasai siang dan malam, bumi dan langit.” 

Maka marahlah Nabi Musa dan berkata “Sungguh berani kamu bercakap sedemikian kepada Allah.  Ucapan kamu itu adalah kekafiran.  Kamu harus menyumbat mulutmu dengan kapas agar dapat mengendalikan lidahmu.  Kamu harus berhenti berkata demikian, jika tidak Tuhan akan menghukum seluruh penduduk bumi akibat dosa-dosamu”

Nabi Musa a.s berkata lagi,“Apakah Allah adalah seorang manusia biasa, sehingga Dia harus memakai kasut? Apakah Allah seorang anak kecil, yang memerlukan susu untuk membesar? Tentu saja tidak.  Allah maha sempurna dan tidak memerlukan sesiapa pun.  Dengan berbicara kepada Allah seperti yang telah engkau lakukan, engkau bukan saja telah merendahkan dirimu, tapi kau juga merendahkan seluruh ciptaan Tuhan. Kau tidak lain dari seorang musuh agama.  Segeralah kamu memohon maaf”

Pengembala berkata “Tuan telah menyalakan api di dalam jiwaku.  Mulai hari ini aku berjanji akan menutup mulutku untuk selamanya.”  Setelah itu pengembala itu pergi meninggalkan Nabi Musa.

Dan setelah itu Musa ditegur oleh Allah “Mengapa engkau berdiri di antara Aku dan kekasih Ku yang setia?  Mengapa engkau pisahkan pecinta dari yang dicintainya?  Aku telah mengutus engkau supaya dapat menggabungkan kekasih dengan kekasihnya, bukan memisahkan ikatan di antaranya.” 

Musa mendengar teguran Allah dengan penuh kerendahan serta rasa takut.  Kemudian Allah berfirman  “Aku tidak menciptakan dunia supaya Aku memperolehi keuntungan daripadanya.  Seluruh makhluk diciptakan untuk kepentingan makhluk itu sendiri.  Aku tidak memerlukan pujian atau sanjungan.  Aku tidak memerlukan ibadah atau pengabdian.  Orang-orang yang beribadah itulah yang mengambil keuntungan dari ibadah yang mereka lakukan”. 

Allah melanjutkan  tegurannya kepada Nabi Musa, ”Ingatlah! Bahwa di dalam cinta, kata-kata hanyalah bungkusan luar yang tidak memiliki makna apa-apa.  Aku tidak memperhatikan keindahan kata-kata, tapi yang Aku perhatikan adalah lubuk hati yang paling dalam dari seseorang itu.  Dengan cara itulah Aku mengetahui ketulusan makhluk Ku.  Buat mereka yang dibakar dengan api cinta, kata-kata tidak mempunyai makna.  Mereka yang terikat dengan kata-kata bukanlah mereka yang terikat dengan cinta.” 

Nabi Musa amat menyesal dan mencari pengembala untuk memohon maaf. 

Nabi Musa memberitahunya  “Aku ada pesanan penting untuk kamu.  Allah telah berfirman kepada ku, bahwa tidak diperlukan kata-kata yang indah bila kita ingin berbicara kepada Nya.  Kamu bebas berbicara kepada Nya dengan cara apa pun yang kamu sukai, dengan kata-kata apa pun yang kamu pilih kerana apa yang aku sangka sebagai kekafiran mu ternyata adalah ungkapan dari keimanan dan kecintaan mu yang menyelamatkan dunia.” 

Dengan sederhana pengembala menjawab “Aku sudah melepas tahapan kata dan ayat.  Hatiku sudah dipenuhi dengan kehadiran-Nya.  Aku tidak dapat menjelaskan keadaan ku padamu, dan kata-kata pun tak dapat melukiskan pengalaman rohani yang ada dalam hatiku.”

[12]
“Dan tatkala Musa datang untuk munajat dengan Kami pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman langsung kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah diri Engkau kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh[1] dan Musa pun jatuh pingsan[2]. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman[3]".

Apabila engkau ingin melihat Allah agar engkau beriman seperti Nabi Musa, hal itu tidak akan sanggup engkau lakukan kecuali engkau melenyapkan segala eksistensi[4] alam semesta sehingga yang berdiri tegak adalah eksistensi Allah, dan juga engkau sanggup melenyapkan eksistensi dirimu, bahwa yang berdiri tegak pada dirimu adalah eksistensi Allah.

Maka engkau betul-betul beriman dikarenakan engkau telah melihat Allah.
[1] Gunung itu hancur luluh artinya hilangnya eksistensi seluruh alam semesta.
[2] Musa pun jatuh pingsan artinya hilangnya eksistensi diri manusia.
[3] QS. Al A'raaf: 143.
[4] Eksistensi adalah kenampaan yang hakiki dari Af’al, Asma’ , Sifat,  dan Dzat.

[13]
Orang besar tidak butuh surga, Tirulah Rabi'ah al Adawiyah, ia kalau siang membawa obor kemana-mana.

Dan ditanya ia, “Kenapa engkau membawa obor keliling kota?” Rabi'ah menjawab, “Aku akan membakar surga, supaya Allah tahu bahwa kalau aku beribadah kepada Nya, tidak karena menginginkan surga, tapi karena memang tulus cinta kepada-Nya”.

Pada saat yang lain Rabi'ah al Adawiyah membawa air didalam ember dan dia berkeliling kota, dengan mencincing kainnya. Kemudian ditanya, “Untuk apa air itu wahai Rabi'ah?” Rabia'ah menjawab, “Aku akan siramkan air ini di bara api neraka, sehingga padamlah seluruh neraka. Supaya Allah tahu bahwa kalau aku mengabdi kepada Nya itu karena aku cinta kepada Nya, bukan karena takut pada neraka-Nya”.

[14]
Salah satu keutamaan Nabi Sulaiman adalah ia diberikan cincin, sehingga dengan cincin tersebut Nabi Sulaiman memiliki kerajaan yang sangat megah yang tidak dimiliki oleh manusia lain, dan memiliki lmu yang tinggi sehingga tidak hanya menguasai bangsa manusia tapi juga bangsa Jin, bangsa binatang, angin, awan.

Cincin Nabi Sulaiman mempunyai empat sisi, yang masing-masing bertulisan[1]. Salah satu tulisan berbunyi: ”Segala sesuatu Pasti Berlalu”.

Sehingga pada waktu Nabi Sulaiman memandang segala kenikmatan yang dimilikinya, ia tidak akan merasa senang dan bangga, karena ia ingat tulisan yang ada pada cincinnya, “Segala sesuatu Pasti Berlalu”. Begitupun apabila menerima musibah dan kesengsaran, ia tidak sedih karena ingat tulisan itu, “Segala sesuatu Pasti Berlalu”.

Segala sesuatu; kenikmatan-kesengsaraan, harta-kemiskinan, langit-bumi, lahir-batin, dunia-akhirat, semuanya pasti berlalu kecuali wajah Allah. "Kullu syay-in haalikun illaa wajhahu[2]".
[1] Sisi pertama bertulisan, “Laa ilaha illallahu wahdahu laa syariirika lahu  - Tidak ada Tuhan selain Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya”. Sisi kedua tertulis,”Allahumma maalikal mulki tu’til mulka man tasya wa tanzi’ul mulka man tasya wa tu’izzu man tasya wa tuzillu man tasya - Wahai Allah Raja yang memiliki kerajaan, Engkau berikan kekuasaan kepada yang Engkau kehendaki, Engkau cabut kekuasaan dari orang yang Engkau kehendaki, Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki”. Pada sisi ketiga tertulis,”Kullu syai’in Haalikun Illallah - Segala sesuatu akan musnah (berlalu) kecuali Allah”. Dan pada sisi keempat tertulis,”Tabarakta Ilahiy laa syariika laka - Maha suci Engkau wahai Tuhanku yang tidak ada sekutu bagi-Mu.
[2] QS. Qashash: 88.

[15]
Allah kisahkan kepada mu  cerita Ashabul Kahfi, yaitu  pemuda penghuni gua dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Allah memberikan pula kepada mereka petunjuk[1]. Mereka tinggal dalam gua tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun lagi.

Ada orang yang akan mengatakan jumlah mereka adalah tiga orang yang keempat adalah anjingnya, dan yang lain mengatakan; "Jumlah mereka adalah lima orang yang keenam adalah anjing nya", sebagai terkaan terhadap barang yang ghaib; dan yang lain lagi mengatakan; "Jumlah mereka tujuh orang, yang ke delapan adalah anjingnya." Maka katakanlah; "Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui bilangan mereka kecuali sedikit".

Tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: "Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami ini".

Dan Allah meneguhkan hati mereka diwaktu mereka berhadapan dengan Raja Dikyanus  yang zalim dan menyombongkan diri.

Lalu mereka pun berkata, "Tuhan kami adalah Tuhan seluruh langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya apabila kami berlaku demikian maka kami telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran".

Kaum mereka telah menjadikan selain Allah sebagai Tuhan-Tuhan untuk disembah. Kaum mereka tidak mengemukakan alasan yang terang tentang kepercayaan mereka. Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?

Pemuda-pemuda ini meninggalkan kaum mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, dan mencari tempat berlindung ke dalam gua itu. Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada mereka dan menyediakan sesuatu yang berguna dalam urusan mereka.

Maka Allah tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu. Ketika matahari terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda kebesaran Allah. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka tidak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.

Dan demikianlah Allah bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: Sudah berapa lamakah kamu berada disini?." Mereka menjawab: "Kita berada disini sehari atau setengah hari." Berkata yang lain lagi; "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada di sini. Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.

Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempar kamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama lamanya.

Pemuda Kahfi yang tinggal di dalam gua selama tiga ratus sembilan tahun[2] adalah keimanan yang didasari pada ketauhidtan kepada Allah. Degan iman dan ketauhidtan itulah manusia bisa menidurkan hawa nafsunya seperti pemuda Kahfi bersama anjingnya di dalam gua[3].

Dengan menidurkan hawa nafsu, maka rahmat dan petunjuk akan selalu diberikan Allah, seperti tidurnya Pemuda kahfi dalam gua yang luas, dan selalu mendapat sinar matahari baik pada waktu terbit atau terbenamnya.

Katauhidan harus dijaga dari pengaruh orang-orang zalim, seperti digambarkan seperti Raja Dikyanus yang selalu memaksa pemuda Kahfi agar kembali kepada Tuhan-Tuhan selain Allah.

Ketauhidtan kepada Allah ibarat uang perak Pemuda Kahfi yang sangat tinggi nilainya dibandingkan dengan kepercayaan dan agama dari orang-orang yang zalim tersebut.

Tapi jangan heran walaupun uang perak pemuda Kahfi tinggi nilainya tetapi tetap tidak laku dihadapan orang-orang zalim. Karena Allah sendiri mengatakan "Man yahdi allaahu fahuwa almuhtadi waman yudhlil falan tajida lahu waliyyan mursyidaan [4]", barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.
[1] Kisah Ashabul Kahfi dijelaskan dalam Al Quran surat Kahfi ayat 9 sampai 20.
[2] Sudah dikatakan di surat Kahfi, bah tidak usah berdebat tentang jumlah bilangan, baik jumlah bilangan pemuda Kahfi, maupun jumlah bilangan tahun pemuda Kahfi didalam gua.
[3] Anjing Pemuda Kahfi adalah hawa nafsu manusia.
[4] QS. Al Kahfi: 17.

---------------Selesai

No comments:

Post a Comment

Blogroll