Monday 19 August 2013

cahaya diatas cahaya 8;- AMAL IBADAH MEMILIKI ASPEK LAHIRIYAH DAN BATINIYAH

[1] Sesunggunghnya setiap amal ibadah terdapat dua aspek, yaitu lahiriyah dan batiniyah. Syahadat, sholat, zakat, puasa, haji-dari amal semua itu kebanyakan dari manusia hanya memperhatikan aspek lahiriyah, sedikit diantaranya yang memahami aspek batiniyah, sehingga amal ibadah tidak membekas dalam perilaku sehari-hari yang sebenarnya dipancarkan dari kemuliaan batiniyahnya.

[2]
Sholat itu dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Salam dua kali, yaitu kekanan dan kekiri. Bukan salam ke kanan aja, atau salam kekiri aja.

Tahukah engkau apa maksud salam kekanan dan kekiri? Yaitu Allah melalui hambaNya mengucapkan salam kepada semua golongan, golongan kanan dan golongan kiri, golongan baik dan golongan buruk.

[3]
Jangan hanya belajar bagaimana khusuk didalam sholat, belajarlah tentang bagaimana perilaku khusuk diluar sholat. Karena sesungguhnya kekhusukan sholat samar terlihat didalam sholat, tapi jelas terlihat pada perilaku khusuk diluar sholat.

[4]
Apabila sholat belum merupakan proses pencegahan perbuatan keji dan mungkar, serta pengguyuran hujan manfaat bagi orang lain, maka sukar untuk membantah bahwa sholat sekedar berkualitas seperti gerakan robot dengan angan kosong.

[5]
Pada sholat berjamaah, Seorang Imam mengatakan; “Sawwuu shufufakum”. Rapatkan dan luruskan shaf tidak hanya barisan jamaah hingga bersentuhan bahu dan badan meraka. Shaf jamaah yang ada di dalam dirimulah yang utama dirapatkan dan diluruskan sehingga setan tidak ada cela untuk masuk didalam hatimu.

[6]
Salam dan keselamatan tercurahkan kepada engkau semua dari Tuhan yang Maha Pengasih (sambil menoleh ke kanan). Salam dan keselamatan tercurahkan kepada engkau semua dari Tuhan yang Maha Pengasih (sambil menghadap ke kiri).

Allah memberikan salam dan keselamat kepada semua makluknya (golongan kiri dan kanan) melalui sholat yang dikerjakan hambanya.

[7]
Tidak ada pekerjaan yang paling ringan kecuali meninggalkan sholat. Dan tidak ada sesuatu yang paling dekat dengan dunia kecuali akhirat.

[8]
Kalau engkau bersujud dan seluruh badanmu engkau sujudkan pula kepada Allah, engkaulah ‘Sofiullah’ [1].

Kalau engkau bawa hatimu untuk mencintai dan yang engkau cintai seluruhnya adalah Allah, engkaulah adalah ‘Kholilullah’ [2].

Kalau engkau mendengar dan seluruh yang engkau dengar adalah Allah, engkaulah ‘Ayatullah’ [3].

Kalau engkau bernafas dan seluruh tarikan dan hembusan nafas yang engkau lakukan adalah jalan untuk kembalimu kepada Allah, engkaulah ‘Ruhullah’ [4].

Kalau engkau berjalan dimuka bumi dan engkau tundukkan segala langkahmu pada langkah Allah, sehingga segala apa yang engkau berikan adalah keselamatan kepada seluruh makluk, engkaulah ‘Rasulullah’ [5].
[1] Sofiullah, sifat-sifat Allah-seperti gelar yang diberikan kepada Nabi Adam.
[2] Kholilullah, kholifah Allah-seperti gelar yang diberikan kepada Nabi Ibrahim.
[3] Ayatullah, ayat-ayat Allah-seperti gelar yang diberikan kepada nabi Musa.
[4] Ruhullah, ruhnya Allah-seperti gelar yang diberikan kepada Nabi Isa.
[5] Rasulullah, utusa Allh-seperti gelar yang diberikan kepada Nabi Muhammad.

[9]
Masjid bukan hanya bangunan tembok, kayu dan kubah. Dimanapun kamu bersujud, maka disitulah terbangun masjid. Karena sesungguhnya masjid seluas semesta alam

[10]
Rasulullah Muhammad apabila menghadap Tuhannya, yang dikedepankan adalah kepentingan umatnya. Sebaliknya apabila menghadap umatnya, yang dikedepankan adalah kepentingan Allahnya.
Sedangkan kebanyakan manusia dimanapun menghadap, yang dikedepankan adalah kepentingan diri sendiri.

[11]
Disempurnakan pendirian sholat dengan empat gerakan; berdiri, ruku’, duduk dan sujud agar yang mengerjakan tahu bahwa dirinya tersusun dari api, angin, tanah dan air.

Gerakan berdiri menunjukkan bahwa ia tersusun dari api, ruku’ menunjukkan bahwa ia tersusun dari angin, duduk menunjukkan bahwa ia tersusun dari tanah, dan sujud menunjukkan ia tersusun dari air.

[12]
Janganlah engkau menengadahkan tanganmu untuk menerima sesuatu dari pada makluk, melainkan engkau melihat bahwa Si Pemberi itu adalah Tuhanmu jua. Dan jangan engkau mengulurkan tanganmu untuk memberi sesuatu kepada makluk, melainkan engkau melihat bahwa Si Penerima itu adalah Tuhanmu jua[1].
[1] Hikam, Ibnu Athailah.

[13]
Banyak orang beriman kuat menahan lapar, karena cukuplah perut yang melakukannya. Tapi sedikit dari mereka yang mampu berhenti makan sebelum kenyang, karena hal itu tidak hanya membutuhkan keimanan saja, tapi lebih membutuhkan dimensi rohani tinggi untuk melakukannya[1].
[1] Emha Ainun Nadjib.

[14]
Kalau puasa dilakukan sekedar menahan haus dan lapar dengan berpedoman pada tidak memasukkan makanan untuk dimakan. Dengan tidak meninggalkan substansinya, maka puasa dapat dilakukan dengan cara berhenti makan sebelum kenyang, atau bahkan tidak makan makanan yang disukai untuk dimakan, serta memakan makanan yang tidak disukai untuk dimakan, itupun puasa.

[15]
Ramadhan artinya membakar dosa, maka bakarlah dosamu hingga setiap bulan menjadi bulan Ramadhan, setiap minggu adalah pintu rahmat, setiap hari adalah ampunan, setiap malam adalah Lailatul Qadar, setiap jam adalah pembebasan dari neraka, setiap menit dan detik adalah Hari Raya.

[16]
Tidak melepas pakaian untuk berihram seorang yang berhaji kecuali untuk menghilangkan segala perbedaan antara sesama makluk dihadapan Khaliknya.

Tidak melakukan Sa’i antara Shofa dan Marwa seorang yang berhaji sebelum mengetahui bahwa didalam dirinya ada perubahan bolak-balik dari puncak manusia sebagai sebaik-baik ciptaan (fi ahsani taqwim) menuju titik nadir manusia sebagai seburuk-buruk ciptaan (asfala safilin).

Tidak melakukan tahalul dengan memotong rambut seorang yang berhaji kecuali rambut yang dipotong untuk mengendalikan nafsu amarah, lauwamah dan mulhimah.

Tidak melakukan lontaran jumrah terhadap Ula, Ustha, dan Aqabah seorang yang pergi haji kecuali melempar setan didalam dirinya yang selalu mengajak menyembah hawa nafsu manusia itu sendiri.

Tidak melakukan tawaf mengitari Ka’bah seorang yang berhaji kecuali mengajak tujuh orbit nafsunya untuk tunduk kepada Allah.

Tidak melakukan wukuf dipadang Arafah seorang yang berhaji kecuali meleburkan segala kekuatan dan pengakuan yang ada didalam dirinya hingga melebur kepada Allah semata.

Dan tidak melakukan haji seseorang yang berhaji kecuali terus menerus sepanjang hidupnya.

[17]
Tidak ada manfaat orang melempar batu (balang jumra) walau 1000 kali pada waktu haji, kecuali ia berniat melempar setan yang ada pada diri mereka sendiri.

[18]
Ketahuilah bahwa shahadat, sholat, zakat, puasa, haji lahiriyahnya berbeda. Batiniahnya sama yaitu penggiringan hati menuju Rabnya. Seperti inilah yang dimaksud kejadian manusia dikumpulkan di padang maksyar.

[19]
Barang siapa yang beribadah karena sesuatu yang dia diharapkan dan menolak sesuatu yang dia takutkan daripadaNya, sesungguhnya tiadalah dia benar-benar menegakkan hak bagi sifat-sifat Tuhan atas dirinya.

[20]
Orang yang menguasai ilmu agama Islam belum tentu seorang Muslim. Orang yang pintar mengaji belum tentu berkelakuan baik. Orang yang beristighatsah dan bershalawat belum tentu gerakannya itu ada kaitan murni dan substansial dengan makna istighatsah dan shalawat. Orang memakai pakaian dan atribut Islam belum tentu orang yang sholeh[1].
[1] Emha Ainun Nadjib.

[21]
Ujian utama Tuhan kepada manusia ialah Mata Pelajaran Uang. Uang itu adalah kertas ujian yang sangat sulit diselesaikan jawabannya. Jarak jauh dan dekatnya uang terhadap hatimu mencerminkan baik dan tidaknya amal ibadahmu.

[22]
Bagaimana engkau tekun melakukan ibadah karena mengharap pahala (surga), sedang Rasulullah Muhammad sudah dijamin masuk surga, siang-malam terus melakukan ibadah. Hendaklah hal itulah menjadi pengetahuan bagimu.

[23]
Bagaimana seorang dapat menuntut upah (pahala surga) bagi sesuatu amal yang sebenarnya Tuhan sendiri telah mensedekahkan amal tersebut kepadanya[1].
[1] Hikam, Ibnu Athailah.

[24]
Wahai anakku. Pergilah masuk ke dalam dirimu sendiri, telusurilah perbuatan-perbuatanmu sendiri, dan juga masuklah ke urusan-urusan manusia di sekitarmu, pergilah ke panggung-panggung dunia yang luas.

Tekunilah, temukanlah salah benarnya ucapan-ucapanku kepadamu. Kemudian peliharalah kepekaan dan kesanggupan untuk tetap bisa menangis. Karena alhamdulillah, seandainya sampai akhir hidupmu hanya diperkenankan untuk menangis karena keadaan-keadaan itu. Maka airmata saja pun sanggup mengantarkanmu kepada Nya.

[25]
Kalau orang beribadah, melakukan amal kebaikan boleh saja bertujuan untuk surga, tapi surga bukan puncak tertinggi. Dalam martabat nafsu, surga berada dilevel menengah yaitu nafsu (jiwa) “Mutmainah”. Tingkat berikutnya adalah “Radhiah”, “Mardiah”, “Kamalia”.

Ketahuilah bahwa semuanya martabat nafsu ada tujuh; amarah, lauwamah, mulhimah, mutmainah, radhiah, mardiah, kamalia. Inilah yang disebut langit shaf tujuh.

[26]
Sejelek apapun diri kita semoga masih tergolong “Minatdzulumati ilannur”, yaitu golongan yang bergerak dari kegelapan menuju cahaya.

[27]
Janganlah sekali-kali engkau mencari ilmu pada benda-benda mati[1], sedangkan aku Rasuluulah Muhammad mencari ilmu dari Dzat yang Hidup[2].
[1] Manusia itu benda mati, malaikat itu benda mati, Jibril itu benda mati, Al-Quran-kitab kitab itu benda mati, Roh Kudus itu benda mati, nabi rasul itu benda mati, auliya itu benda mati, wali itu benda mati, bulan bintang matahari itu benda mati. Semua benda mati.
[2] Dzat Yang Maha Hidup adalah Allah.

[28]
Ya Allah, hamba berlindung kepada Mu.

Hamba berlindung kepada Mu dari kesombongan sebagai orang berkuasa, yang berdiri gagah tanpa punya malu karena merasa dirinya lebih tinggi dari manusia lain.

Hamba berlindung kepada Mu dari kesombongan sebagai orang kaya yang berjalan acuh dan mendongakkan kepala karena merasa dirinya lebih penting dari orang lain.

Hamba berlindung kepada Mu dari sifat kesombongan orang pandai yang selalu merasa dirinya lebih hebat dari lainnya, sehingga kami membuka mulut lebar-lebar dan memutahkan hujatan kata yang berasal dari perasaan hebat yang ada pada dirinya.

Hamba berlindung kepada Mu dari sifat kesombongan orang mashur yang selalu merasa dirinya lebih khusus dibanding orang lain disekitarnya dan menyangka kemashuran adalah kelebihan derajat dari orang lain.

Ya Allah hamba benar-benar berlindung kepada Mu dari sifat kesombongan orang sholeh yang sibuk merasa bahwa yang selain dirinya adalah najis, dan tidak punya kemampuan lain kecuali merasa dirinya paling suci dan selalu benar, yang beranggapan bahwa Engkau adalah anak buah-nya, yang beranggapan bahwa bahwa para Nabi dan Rasul adalah staf-nya untuk melaksanakan kepentingan dirinya dan golongannya[1].
[1] Emha Ainun Nadjib.

[29]
Asa an tukrihu syai-an wa huwa khoirul-lakum, wa 'asa an tuhibbu syai-an wa huwa syarrun lakum [1]”.

Apa yang selama ini engkau singkirkan, engkau anggap buruk, engkau coreng mukanya, engkau remehkan, engkau rendah-rendahkan atau engkau buang ke tong-tong sampah, akan menohok kesadaranmu dan engkau akan dipaksa menyadari bahwa sesungguhnya yang engkau anggap buruk itulah yang baik bagi kehidupanmu.

Sebaliknya segala sesuatu yang engkau junjung-junjung, engkau blow-up, engkau puja-puji, engkau bela mati-matian, engka sangka akses utama masa depanmu, akan hina di depan matamu dan engkau dipaksa menyadari bahwa ternyata ia sesungguhnya buruk bagi hidupmu[2].
[1] QS. Al Baqarah: 216.
[2] Emha Ainun Nadjib.

[30]
Sebelum mencapai “Madinatul I'lmu” (kotanya ilmu) cari dulu “Babul I'lmu” (pintunya ilmu). Dan sesungguhnya seorang yang telah berada didalam “Madinatul I'lmu” maka Allah memberikan pengetahuan terhadap rahasia-rahasia Nya.

Madinatul I’lmu” adalah rahasia-rahasia ilmu, sedang Babul I’lmu adalah hikmah-hikmah ilmu.

[31]
Allah kadang menghiasi kita dengan pakaian wali, hingga kita terpedaya oleh indahnya waktu dengan segala kemuliaannya. Dan kita merasa telah menjadi kekasihNya. Padahal sesungguhynya kita telah tertimpa “Istidroj” (dibombong).

Allah kadang menghiasi kita dengan kemuliaan, pangkat dan kepemimpinan, serta posisi terhormat di hadapan publik, sehingga kita terjebak dalam pujian manusia dan kita menyangka bahwa kita ini termasuk orang yang meraih keutamaan. Mungkin inipun sesungguhnya “Istidroj”.

Begitu pula Allah kadang menghiasi kita dengan ragam hikmah yang lembut, lalu kita terjebak dengan keindahan bahasa sastra dan hikmah, lalu kita menyangka diri kita telah melampaui pengetahuan semua hakikat. Padahal ini hanya “Istidroj”.

Bahkan kadang Allah menghiasi kita dengan berbagai nikmat, dan kita tenggelam dalam kenikmatan-Nya, lalu kita terjebak pada keindahan dan bagusnya nikmat itu. Kita menyangka bahwa diri kita telah mendapat sesuatu dari Allah Ta’ala. Padahal semua itu hanyalah “Istidroj [1]”.
[1] Emha Ainun Nadjib.

[32]
Tuhanku, Engkau Maha Mengetahui bahwa aku adalah mahkluk yang lemah, maka berilah kepandaian kepada ku.

Yakni kepandaian untuk mengatahui bahwa yang benar itu benar, kepandaian untuk mengetahui bahwa yang salah itu salah.

Lalu berikanlah kesanggupan kepadaku untuk melaksanakan segala kebanaran, serta berikanlah pula kekuatan kepadaku untuk meninggalkan segala kesalahan.

Allahuma arinal haqa haqa warjuknatibaah, wa arinal baatila baatila warzuknattinabah [1]”
[1] Al Hadist.

[33]
Subhanalladzi asro biabdihi lailam minal masjidil haroomi ilal masjidil aqso”. Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha.

Hidup ini dijalankan bukan jalan sendiri, hidup ini dipilihkan bukan memilih sendiri. Hidup manusia dari mulai lahir sampai mati sudah ditetapkan pilihannya bukan menetapkan pilihan sendiri. Sesungguhnya tiap-tiap manusia itu telah ditetapkan amal perbuatannya sebagaimana tetapnya kalung pada leher mereka.

Hidup ini malam hari bukan siang hari. Manusia tidak tahu apa yang terjadi esok hari, tidak tahu apa yang terjadi satu jam kedepan, tidak tahu apa yang terjadi satu menit kedepan, tidak tahu apa yang terjadi satu second kedepan, tidak tahu apa yang terjadi seper sekian second kedepan.

Hidup ini mundur ke belakang bukan maju kedepan. Hidup ini kembali kepada asal, kembali ke kampung halaman. Sesungguhnya dari Allah, manusia berasal dan kepadaNyalah, manusia dikembalikan.

[34]
“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu Al-Quran menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya, yang diajarkan kepadanya oleh Jibril yang sangat kuat, yang mempunyai akal yang cerdas, dan Jibril itu menampakkan diri dengan rupa yang asli, sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat pada Muhammad sejarak dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi. Lalu dia menyampaikan kepada hambaNya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan[1]”.

Al-Qur’an turunkan dengan syarat hati harus bersih (tidak menuruti hawa nafsunya) dan akal harus cerdas. Hati yang bersih ialah seperti yang dicontohkan oleh Muhammad, dan akal yang cerdas ialah seperti yang dicontohkan oleh Jibril[2]. Dan apabila diposisikan pada diri manusia, keduanya sejarak antar dua ujung busur panah, bahkan lebih dekat lagi. Yaitu jarak antara dada dan kepala manusia.
[1] QS. An Najm: 1 s/d 10.
[2] Jibril itu diri Muhammad sendiri. Pada tiap diri manusia, Jibril selalu ada bersama Muhammad tergantung seberapa cerdas akal yang dimiliki dan seberapa bersih hatinya. Akal disimbolkan berada di kepala dan Muhammad disimbolkan berada di dada kiri, keduanya sejarak antar dua ujung busur panah, bahkan lebi dekat lagi.

[35]
Sesungguhnya perjalanan spiritual seorang menuju Rab-ya akan menapaki tahap-tahapan;

Pertama, tahapan 'Abid, yaitu seorang yang tekun beribadah kepada Allah dengan tujuan ingin masuk surga dan selamat dari siksa neraka.

Berikutnya tahapan Mukhlis, yaitu orang yang beribadah hanya semata karena Allah bukan karena ingin masuk surga, ataupun selamat dari neraka.

Tahapan yang lebih tinggi lagi adalah tahapan Muhib, yaitu orang yang cinta kepada Allah.

Tahapan berikutnya lagi, yaitu Al- 'Arif yaitu orang yang ma'rifat kepada Allah SWT.

Dalam perjalanan tahap Muhib menuju ke tahapan 'Arif, seseorang akan mengalami empat jenjang tajalli[1]; Tajalli 'Afal[2], Tajalli Asma’[3],Tajalli Sifat[4], dan Tajalli Dzat[5].

Apabila ia telah sampai pada tahapan tajalli Dzat. maka berarti ia tengah berada pada maqom' Arifin (ahli ma'rifat).
[1] Tajalli adalah kenampaan yang dialami seorang dengan merasakan bahwa keberadaan Allah yang ada dimana-mana.
[2] Tajalli Af'al adalah kenampaan bahwa segala perbuatan adalah perbuatan Allah.
[3] Tajalli Asma’ adalah kenampaan bahwa segala nama adalah nama Allah.
[4] Tajalli Sifat adalah kenampaan bahwa segala sifat adalah sifat Allah.
[5] Tajalli Dzat adalah kenampaan bahwa segala bentuk adalah bentuk Allah. Tajalli ini merupakan yang paling berat diterima diantara Tajalli yang lain.


[36]
Tahukah engakau Isra’ Mi’raj? Pernakah melakukannya? Isra' tidak lain adalah perjalanan secara ilmu dari tahapan akal (Masjidil Haram) menuju tahapan hati (Masjidil Aqsa), dan Mi'raj adalah perjalanan secara ilmu dari hati (Masjidil Aqsa) menuju ruh (Sidratul Muntaha).

Setiap saat, setiap orang mukmin bisa melakukan Isra' Mi'raj. "As shalatu Mirajul Mu'minin". Sholat itu bukan hanya pergerakan fisik, tapi lebih dari itu, yaitu perjalanan batin menuju ufuk yang terjauh (Sidratul Muntaha) untuk menghadap Allah.

Apabila telah mencapai Sidratul Muntaha, maka seorang berada pada kondisi batin yang paling dekat dengan Allah, sehingga tidak ada jarak. Dan apa yang dilihat pada saat itu di kanan dan dikiri adalah cahaya (Nurullah), demikian dirinya juga telah melebur menjadi cahaya.

[37]
Apakah orang yang beribadah dengan tidak mengenal kepada Allah lebih beruntung, ataukah orang yang berma’rifat kepada Allah, ia beribadah setiap waktu baik pada waktu berbaring, duduk, dan berdiri, sedang ia mengharap pertemuan dengan Tuhannya?

Katakanlah, "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran[1].
[1] QS. Az Zumar: 9.

[38]
Tidak sekali-kali Allah menerima amal sholeh seorang, kecuali amal ibadah tersebut untuk dirinya sendiri, yaitu kenampaan dari hatinya yang bersih serta ternjaga dari perbuatan keji dan mungkar.

“Barangsiapa yang mengerjakan amal sholeh, maka itu adalah untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan, maka itu akan menimpa dirinya sendiri[1]”. Allah tidak terangkat atau menurun derajatnya atas amal dan kejahatan yang manusia lakukan.

“Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya tidak memerlukan sesuatu dari semesta alam[2]”.
[1] QS. Al Jaatsiyah: 15.
[2] QS. Al 'Ankabuut: 6.

[39]
Janganlah engkau meniru mereka yang menganggap Tuhannya adalah pedagang. Yaitu mereka yang gemar melakukan ibadah agar bisa masuk surga, dan tidak ada keinginan sama sekali untuk bertemu Tuhannya. Mereka menganggap kenikmatan surga dapat ditukar amal ibadahnya, padahal Allah Maha Kuasa tidak membutuhkan sedikitpun dari amal ibadah dan pujian mereka.

Dan saat malaikat menghadap Tuhan membawa catatan amalan Si Fulan “Ya Allah, kami membawa catatan Si Fulan yang selama di dunia diisi dengan amal ibadah kepada Mu. Sepatutnyalah Engkau masukan ia ke Surga- Mu”. Jawab Tuhan "Tidak! Campakan catatan dan pemiliknya ke neraka, karena aku tidak membutuhkan amalan ibadah manusia".

[40]
Sesungguhnya ada empat langkah yang tidak bisa salah satu ditinggalkan sehingga bisa mencapai kesempurnaan dari amal ibadah yang engkau lakulan, yaitu; Syariat, Tharekat, Hakikat, dan Ma’rifat.

Asy-syari’atu aqwali wath-thariqatu af’ali wal-haqiqatu ahwali al-ma’rifatu sirri[1]- Syariat itu perkataanku, Tharekat itu perbuatanku, Hakikat itu tingkah lakuku dan Ma’rifat rahasiaku”.
Apabila engkau telah mencapai Ma’rifat, maka terbukalah tirai hingga antara engkau dan Allah menjadi sepandangan. Dalam keadaan yang demikian itu maka engkau tidak melihat wujud alam semesta dan dirimu sendiri kecuali Allah.
Man nazhara ila syai’in wa lam yarallaha fihi fahuwa bathilun – Barang siapa yang memandang sesuatu dan ia tidak melihat Allah disesuatu tersebut, maka dia itu sia-sia[2]”
Demikian juga dikatakan, “Man ra’aitu syai’an illa wa ra’aitullaha fihi – Aku tidak melihat sesuatu melainkan aku melihat Allah di dalamnya[3]”.

Keempat langkah tersebut apabila dapat melaksanakan maka engkau akan bisa merasakan rasa yang sejati-sejatinya rasa[4], yaitu rasa bersatunya manusia dengan Allah-Wahdatul wujud.
[1]Al Hadist.
[2] Al Hadist.
[3] Perkataan Ali Bin Abi Thalib.
[4] Rasa yang sejati-sejatinya rasa, adalah rasa yang nikmat tidak ada tandinganya walaupun dibandingkan dengan kenikmatan surga.

[41]
Sebenarnya segala urusan itu adalah kepunyaan Allah. Maka tidakkah orang-orang yang beriman itu mengetahui bahwa seandainya Allah menghendaki semua manusia itu beriman, tentu Allah memberi petunjuk kepada manusia semuanya[1]. Maka janganlah engkau mencela betapapun sesatnya amal pebuatan mereka[2]. Dan hanyalah kepada Allahlah dikembalikan segala urusan[3].

Dan janganlah saling mempertentangkan segala urusan karena merasa benar, hendaklah segala urusan yang dipertentangan umat dikembalikan kepada Allah. Cukuplah kebenaran Al-Qur’an itu untuk menilai dirimu sendiri.
[1] QS. Ar Ra’d: 31.
[2] Apabila mencela amal perbuatan sesat mereka, maka sama saja mencela perbuatan Allah.
[3] Hal ini banyak disebutkan dalam Al-Quran; QS. Al Anfaal: 44, QS. Al Baqarah: 210, QS. Asy Syuura: 53, QS. Faathir: 4, QS. Luqman: 22, QS. Al Hajj: 41, QS. Al Hadiid: 5.
---------------Selesai

No comments:

Post a Comment

Blogroll