Monday 19 August 2013

cahaya diatas cahaya 6;- ALLAH MENCELA MANUSIA YANG ENGGAN BERPIKIR

[1]
Al-Qur’an memberikan banyak ayat yang menyeru agar manusia mau berfikir[1]. Akal manusia merupakan alat berfikir disebutkan dibanyak ayat di dalam al-Quran[2].
[1] Yaitu proses kognitif terhadap pengambilan hikmah dari kejadian alam semesta dan kehidupan. Proses berfikir sebagai karakter utama manusia mendapat banyak perhatian yang istimewa dalam al-Qur’an.
[2] Akal disebutkan sebanyak 49 kali, yang semuanya dalam bentuk kata kerja “fi’il”. Alat berfikir di dalam al-Quran juga disebut “Al-Qalb”, “Al-Fu’ad”, “Al-Nuhâ”, “Al-Hijr”, “Al-Hilm” dan “Al-Lubb” yang semuanya juga berarti akal fikiran.

[2]
Tiga kelompok ayat-ayat yang menyerukan pentingnya proses berfikir bagi manusia;

Pertama. Ayat-ayat yang menyerukan berfikir dan penggunaan akal sebagai kekuatan alami yang dimiliki seluruh manusia; “Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ayat-ayat bagi kaum yang mau menggunakan akal[1]”.



Kedua. Ayat-ayat al-Qur’an yang ditujukan khusus kepada para Ulul Albab, kaum intellektual, mereka yang memiliki kemampuan berpikir secara sempurna[2]. Diantara ayat-ayat ini; “Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran (Ulul Albab)[3]”.


Ketiga. Ayat-ayat mencela manusia yang tidak mau berfikir dan tidak mau menggunakan akalnya. Al-Qur’an menggunakan kalimat tanya yang bersifat negatif; “Apakah kamu tidak menggunakan akal fikiran (Afalaa ta'qiluuna)?”, Apakah kamu tidak berfikir (Afalaa tatafakkaruuna)?”, “Apakah kamu tidak melihat (afala tubsiruuna)?”, “Apakah kamu tidak ingat (Afalaa tadzakkaruuna)?”, “Apakah mereka tidak mendalami (Afala tadabbarun)?”.


Ayat-ayat yang mencela manusia yang tidak mau berfikir; “Jijik perasaan-Ku terhadap kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah! Maka mengapa kamu tidak mau menggunakan akal fikiran kamu?[4]”.


Bahkan dalam banyak ayat Allah mensifatkan manusia yang tidak mau berfikir sama dengan binatang dan bahkan lebih hina dari pada binatang; “inna syarra alddawaabbi 'inda allaahi alshshummu albukmu alladziina laa ya'qiluuna - Sesungguhnya sejahat-jahat makhluk yang melata, pada sisi Allah, ialah orang-orang yang pekak dan tuli, yang tidak mahu memahami sesuatupun dengan akal fikirannya[5]”
[1] QS. An Nahl: 12. Ayat-ayat seperti ini juga terdapat QS. Al-Baqarah: 164, QS. Ar Ra’d: 4, QS. Al-Nahl: 64, QS. Ar Ruum: 24. Semua ayat-ayat tersebut di atas diakhiri dengan pernayataan “Li qaumin ya’qiluna”, yaitu “Bagi kaum yang mau menggunakan akal” sebagai penekanan terhadap sesuatu yang secara alami merupakan suatu keharusan untuk dipikirkan dan dipahaini, yaitu semua fenomena dan kejadian alam semesta ini dengan bebas.
[2] Orang-orang ini disebut dalam al-Qur ‘an sebanyak 16 kali, yang semuanya berirama pujian dan penghormatan, hal ini karena mereka menurut al-Qur’an adalah orang-orang yang memiliki tingkatan yang tinggi di dalam berfikir.
[3] QS. Ar Ra’d: 19.
[4] QS. Al-Anbiyaa’: 67.
[5] QS. Al-Anfaal: 22. Terdapat juga di QS. Al-Furqaan: 44.

[3] 
"Yaa ma'syara aljinni waal-insi ini istatha'tum an tanfudzuu min aqthaari alssamaawaati waal-ardhi faunfudzuu laa tanfudzuuna illaa bisulthaanin [1]"
 
Hai para 'hati' dan 'akal'[2] manusia, jika kamu sanggup menembus penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.

"Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaani  [3]
Maka ni'mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

Sungguh manusia dengan kekuatan (sulthaan) hati dan akal yang dimilikinya ditantang oleh Tuhan untuk menembus  langit dan bumi. Yaitu Langit dan bumi yang ada di dalam dadanya sendiri, sehingga keduanya bisa mencapai Tuhannya, hati dan akal yang mampu mencapai tahapan ruh yang selalu menyatu bersama Allah.

Tapi nikmat yang diberikan itu, kebanyakan manusia mendustakannya.
[1] QS. Ar Rahmaan: 33.
[2] Apabila 'Aljinni waal-insi '' diartikan hati dan akal. Jin itu ada yang kafir dan ada yang mukmin, hal ini menggambarkan hati manusia yang berubah rubah-rubah diantara keimanan dan kekafiran, demikan juga akal diantara keimanan dan kekafiran. Sehingga QS. An Naas: 6  dikatakan bahwa syetain itu "Mina aljinnati waalnnaasi" , dari golongan jin dan manusia. Sebenarnya syetan itu sifat dari hati dan akal manusia itu sendiri.
[3] QS. Ar Rahmaan: 34.
----------------Selesai

No comments:

Post a Comment

Blogroll