Kekasih Yang Berkata "Aku"
Seseorang mengetuk pintu kekasihnya: ”Siapa di situ?” tanya sang kekasih.
Dia menjawab, ”Aku.” ”Pergilah seru kekasihnya, ”ini terlalu cepat: di atas mejaku tiada tempat yang masih mentah.”
Bagaimana yang mentah dapat dimasak kalau bukan dalam api ketiadaan? Apa lagi yang dapat melepaskannya dari kemunafikan?
Dengan sedih dia pun pergi, dan sepanjang tahun hatinya terbakar oleh api perpisahan;
Maka datanglah ia kembali mondar-mandir di samping rumah kekasihnya.
Dia mengetuk pintu dengan ratusan kecemasan dan harapan, kuatir kalau kata-kata tak pantas bakal terucap dari bibirnya.
”Siapa di situ?” seru sang Kekasih. Dia menjawab, ”Engkau, wahai pesona seluruh hati!”
”Kini,” sapa sang kekasih, ”karena engkau adalah aku, masuklah; tiada ruang untuk dua aku dalam ruangan ini.
Dua ujung benang bukanlah untuk selubang jarum: karena engkau adalah satu, masuklah ke lubang itu.”
Inilah benang yang memasuki lubang itu: unta takkan diterima masuk lubang jarum itu.
Bagaimana unta dapat diperkecil kecuali dengan gunting zuhud?
Tapi itu, wahai pembaca, memerlukan Tangan Tuhan, yang merupakan Pembuat dan Pencipta setiap kemustahilan.
Yang bukan-wujud pun, meski lebih mati dibandingkan yang mati harus mendengarkan ketika Dia menitahkannya mewujud.
Bacalah ayat, ”Setiap waktu Dia dalam kesibukan”: janganlah menganggap-Nya menganggur dan lamban.
Setidak-tidaknya, kegiatan-Nya tiap hari, mengirimkan tiga pasukan:
Sepasukan sulbi para ayah menuju para ibu, supaya benih dapat berkembang di dalam kandungan;
Sepasukan dari kandungan menuju Bumi, agaar dunia terisi dengan lelaki dan perempuan;
Sepasukan dari Bumi menuju kawasan di balik kematian, sehingga setiap orang dapat melihat indahnya segala amal baiknya.
Dia menjawab, ”Aku.” ”Pergilah seru kekasihnya, ”ini terlalu cepat: di atas mejaku tiada tempat yang masih mentah.”
Bagaimana yang mentah dapat dimasak kalau bukan dalam api ketiadaan? Apa lagi yang dapat melepaskannya dari kemunafikan?
Dengan sedih dia pun pergi, dan sepanjang tahun hatinya terbakar oleh api perpisahan;
Maka datanglah ia kembali mondar-mandir di samping rumah kekasihnya.
Dia mengetuk pintu dengan ratusan kecemasan dan harapan, kuatir kalau kata-kata tak pantas bakal terucap dari bibirnya.
”Siapa di situ?” seru sang Kekasih. Dia menjawab, ”Engkau, wahai pesona seluruh hati!”
”Kini,” sapa sang kekasih, ”karena engkau adalah aku, masuklah; tiada ruang untuk dua aku dalam ruangan ini.
Dua ujung benang bukanlah untuk selubang jarum: karena engkau adalah satu, masuklah ke lubang itu.”
Inilah benang yang memasuki lubang itu: unta takkan diterima masuk lubang jarum itu.
Bagaimana unta dapat diperkecil kecuali dengan gunting zuhud?
Tapi itu, wahai pembaca, memerlukan Tangan Tuhan, yang merupakan Pembuat dan Pencipta setiap kemustahilan.
Yang bukan-wujud pun, meski lebih mati dibandingkan yang mati harus mendengarkan ketika Dia menitahkannya mewujud.
Bacalah ayat, ”Setiap waktu Dia dalam kesibukan”: janganlah menganggap-Nya menganggur dan lamban.
Setidak-tidaknya, kegiatan-Nya tiap hari, mengirimkan tiga pasukan:
Sepasukan sulbi para ayah menuju para ibu, supaya benih dapat berkembang di dalam kandungan;
Sepasukan dari kandungan menuju Bumi, agaar dunia terisi dengan lelaki dan perempuan;
Sepasukan dari Bumi menuju kawasan di balik kematian, sehingga setiap orang dapat melihat indahnya segala amal baiknya.
Jalaluddin Rumi, Mas. I, 3056
Saksi Tuhan
Tuhan tidaklah mencipta di bumi atau di langit yang tinggi sesuatu yang lebih gaib daripada ruh manusia.
Dia telah menyingkapkan rahasia segala sesuatu, baik yang basah maupun yang kering, namun Dia menutup rahasia ruh: “ia termasuk urusan Tuhan-ku.”
Karena penglihatan Saksi yang mulia melihat ruh itu, maka sia-sialah tetap bersembunyi daripadanya.
Tuhan disebut “Yang Maha Adil”, dan Saksi itu milik-Nya: Saksi yang adil itu adalah mata Sang Kekasih.
Sasaran Pandangan Tuhan di kedua dunia adalah kesucian hati: tatapan Sang Raja tertuju pada orang yang terkasih.
Rahasia cinta-kasih-Nya yang beramain-main dengan kekasih-Nya adalah sumber dari seluruh tabir yang telah Dia ciptakan.
Oleh kerana itu Tuhan kita Yang Maha Pengasih berfirman kepada Nabi pada malam mi’raj: “Kalau bukan karena engkau niscaya tidaklah Kuciptakan alam.”
Dia telah menyingkapkan rahasia segala sesuatu, baik yang basah maupun yang kering, namun Dia menutup rahasia ruh: “ia termasuk urusan Tuhan-ku.”
Karena penglihatan Saksi yang mulia melihat ruh itu, maka sia-sialah tetap bersembunyi daripadanya.
Tuhan disebut “Yang Maha Adil”, dan Saksi itu milik-Nya: Saksi yang adil itu adalah mata Sang Kekasih.
Sasaran Pandangan Tuhan di kedua dunia adalah kesucian hati: tatapan Sang Raja tertuju pada orang yang terkasih.
Rahasia cinta-kasih-Nya yang beramain-main dengan kekasih-Nya adalah sumber dari seluruh tabir yang telah Dia ciptakan.
Oleh kerana itu Tuhan kita Yang Maha Pengasih berfirman kepada Nabi pada malam mi’raj: “Kalau bukan karena engkau niscaya tidaklah Kuciptakan alam.”
Jalaluddin Rumi, Mas. VI, 2877
Jalaluddin Rumi dan Puisi-puisi Tasawufnya
Oleh Abdul Hadi W. M.
Jalaluddin
Rumi adalah penyair sufi terbesar sepanjang zaman. Nama lengkapnya
ialah Jalaluddin Muhammad bin Husayn al-Khattibi al-Bahri. Banyak gelar
yang disandangnya, yang paling popular ialah Khudawandagar, yang dalam
bahasa Turk artinya Tuan Besar. Dalam sajak-sajaknya dia menggunakan
takhallus (nama pena) Khamsuy, yang artinya Diam. Di Turki dia
dipanggil Mevlana atau Mawlawi, artinya sama dengan Syekh. Beberapa
muridnya seperti Aflaki menyebutnya Sirr Allah al-A`zam (Rahasia Agung
Tuhan). Gelar al-Rumi atau Mulla yi-Rum diberikan kerana dia
menghabiskan sebagian besar masa hidupnya di Asia Kecil, yaitu Turki
atau Anatolia, yang pada awal abad ke-13 sebagian besar dari wilayah itu
masih merupakan bahagian kekaisaran Rumawi atau Bizantium.
Rumi lahir pada 6 Rabi`ul Awwal 604 H bertepatan dengan 30 September 1207 M di Balkh, kini Afghanistan, sebuah kota yang pada abad ke-13 merupakan pusat kebudayaan Parsi. Beliau wafat pada 5 Jumad il Akhir 672 H bertepatan 16 Disember 1273 M di Qunya, Turki
Ayah Rumi, Muhammad ibn Husyain al-Khatibi alias Bahauddin Walad ialah
seorang ulama terkenal di Balkh dan bergelar Sultan al-`Ulama. Ibu
beliau ialah ahli keluarga raja Khwarizmi. Pada tahun 1210, beberapa
tahun sebelum kerajaaan Khwarizmi ditakluk tentara Mongol, keluarga Rumi
pindah ke Khurasan, kemudian Nisyapur. Pada ketika tentara Mongol
menakluki kerajaan Khwarizmi pada tahun 1220 keluarga Rumi mengungsi ke
Baghdad dan kemudian ke Mekah. Dari Mekah mereka berpindah ke Damaskus,
Syria, dan akhirnya menemui tempat tinggal yang selamat di Kunya, Turki.
Tidak diketahui secara pasti mengapa Bahauddin Walad dan keluarganya
pindah dari Balkh, wilayah Parsi bahagian Timur, menuju Khurasan. Ada
dua pendapat mengenai sebab-sebab keluarga itu berpindah ke Barat:
pertama ialah penaklukan tentara Mongol. Kedua, masalah politik dalaman
kerajaan Khwarizmi.Menurut analisis beberapa ahli sejarah pada masa itu
raja Khwarizmi yang sangat berkuasa Muhammad Khwarazmisyah menentang
Tarikat Kubrawiyah yang dipimpin oleh Bahauddin Walad.
Namun
pendapat ini diragui kerana pada
waktu itu Bahauddin Walad mempunyai kedudukan yang tinggi dalam
lingkungan kerajaan Khwarizmi. Para sufi sendiri berpendapat bahawa
penaklukan Mongollah yang mendorong Bahauddin Walad pindah ke Khurasan,
kemudian ke Nisyapur. Di Nisyapur keluarga Bahauddin Walad bertemu
dengan Fariduddin `Attar. `Attar sangat terkesan pada Rumi yang pada
waktu itu berusia 7 tahun, malahan `Attar meramalkan bahawa pada suatu
ketika nanti Rumi akan menjadi seorang guru spiritual agung yang
masyhur. `Attar memberi hadiah buku Asrar-namah (Kitab Rahsia Ketuhanan)
kepada Rumi kecil.
Kedatangan Bahauddin Walad kerana
mendapat jemputan dari Sultan `Ala`uddin al-Kayqubad, penguasa Anatolia.
Keluarga Bahauddin Walad tinggal mula-mula tinggal di Laranda selama 4
tahun pada tahun 1211-1215. Di Laranda Jalaluddin Rumi menikahi Jauhar
Khatun, putri seorang ulama terkenal. Dari perkawinannya itu Rumi
memperolehi anak lelaki yang kemudiannya masyhur sebagai seorang sufi
dan pemimpin Tarikat Maulawiyah, iaitu Sultan Walad.
Pada tahun 1215 Sultan Kayqubad
mengundang Bahauddin Walad tinggal di Kunya, ibukota kerajaan Anatolia.
Pada waktu Kunya merupakan pusat kebudayaan Islam menggantikan peranan
Baghdad yang pada tahun 1256M diduduki dan dihancurkan oleh tentara
Mongol di bawah pimpinan panglimanya Hulagu Khan. Sebagai pusat
kebudayaan Kunya merupakan tempat pertemuan kebudayaan Barat dan Timur,
serta pusat pertemuan berbagai agama khususnya Yahudi, Kristian dan
Islam. Sebagai kota pusat pengajian ilmu Kunya menarik perhatian kaum
cerdik pandai dan pelajar dari berbagai-bagai negeri.. Selepas Baghdad
ditakluki oleh tentera Mongol pimpinan Jengis Khan, banyak golongan
terpelajar dari negeri Islam bahagian Timur berhijrah ke Kunya, sehingga
kota ini segera berkembang menjadi pusat pengajian yang penting pada
akhir abad ke-13 M. Di kota ini banyak sekali terdapat lembaga-lembaga
pendidikan Islam dan Kristian. Penduduk Kunya, sebagaimana penduduk
Anatolia (Turki), terdiri dari pelbagai bangsa. Di kota ini dapat
dijumpai banyak bangsa Arab, Parsi, Turk, Greek, Armenia dan Kurdi.
Pada ketika Bahauddin Walad tiba di Kunya
beliau mendapat sambutan hangat dari masyarakat Muslim. Dengan mendapat
bantuan daripada Sultan Kayqubad Bahauddin Walad mendirikan sebuah
madrasah yang cukup besar. Dalam masa satu tahun ratusan murid datang untuk belajar kepada ulama terkenal itu. Pada tahun 1331M
Bahauddin Walad meninggal dunia. Pengurusan madrasahnya dipegang oleh
Jalaluddin Rumi yang baru berusia 24 tahun.
Pada tahun 1232 M seorang ulama sufi
terkenal bernama Syeikh Burhanuddin al-Muhaqqiq al-Tirmidhi datang ke
Kunya dan mendapat sambutan hangat penduduk yang ingin mempelajari
tasawuf. Rumi yang baru satu tahun menggantikan ayahnya juga tertarik
untuk belajar kepada Burhanuddin al-Tirmidhi. Maka beliau menyerahkan
pengurusan madrasahnya kepada orang lain, dan beliau sendiri belajar
ilmu tasawuf di bawah bimbingan Syekh Burhanuddin al-Tirmidhi. Selama
sembilan tahun lamanya Rumi mengamalkan kehidupan sebagai seorang ahli
sufi, dan selama itu beliau meluangkan masa mempelajari ilmu-ilmu agama
di Madrasah Halawiyah, Aleppo, Syria. Pada umur 33 tahun Rumi sudah
menguasai ilmu tasawuf, tafsir al-Qur`an, Hadits, usuluddin, ilmu
syariat dan fiqih, sejarah dan kesusasteraan Islam, serta falsafah dan
teologi.
Pada tahun 1241 Rumi kembali ke Kunya dan
membina sebuah sekolah pendidikan yang mengajarkan ilmu-ilmu agama,
termasuk tasawuf. Beliau menjadi masyhur sebagai guru agama yang
berpengetahuan tinggi dan mempunyai anak murid ratusan orang. Beliau
tidak hanya mengajarkan ilmu syariat dan fiqah, tetapi juga ilmu tasawuf
Untuk kebanyakan murid beliau mengajar ilmu formal, namun untuk
murid-muridnya yang terpilih beliau mengajar ilmu tasawuf. Pergaulan
Rumi juga sangat luas. Murid-muridnya bukan hanya orang Arab dan Parsi
yang datang ke Kunya, tetapi juga orang-orang Turk dan Yunani.
Pengalaman beliau mengajar ratusan murid dari berbagai kalangan dan kaum
selama lima tahun memberi banyak hikmah kepada Rumi. Pada akhirnya
beliau menyedari bahawa pengetahuan formal (ilmu-ilmu syariat dan fiqah)
tidak mudah mengubah jiwa manusia, Menurut Rumi pengajaran formal
ternyata tidak sanggup membuat kepribadian seseorang berkembang
sebagaimana diharap. Tingkah laku manusia, menurut Rumi, dapat berubah
apabila sikap jiwa dan fikiran mereka berubah terhadap dunia dan Tuhan.
Manusia akan mendapat kepribadiannya yang baik apabila fikiran dan
jiwanya terang, serta memiliki perasaan positif terhadap segala sesuatu.
Memeluk agama apa pun seseorang, tidak berbeda. kecuali apabila mereka
menyadari potensi tersembunyi daripada dirinya sebagai makhluk spiritual
yang memancarkan cahaya ilahiyah
Sejak Rumi menyedari hal tersebut beliau
selalu berpendapat bahawa undang-undang (hukum), pemikiran dan
pengetahuan tidak cukup bagi pendidikan seseorang. Beliau pun mulai jemu
kepada berbagai-bagai bentuk formalisme dan dogmatisme yang diajarkan
para ulama, pendita dan rabbi. Rumi menyedari bahawa dalam diri manusia
ada suatu tenaga tersembunyi, yang apabila digunakan sungguh-sungguh
dengan cara yang benar, dapat membawa manusia ke dalam kebahagiaan dan
pengetahuan yang luas dan tak terbatas Tenaga tersembunyi itu ialah
Cinta Ilahi (`Ishq).
Pada tahun 1224-5 M. seorang guru
kerohanian yang karismatik daripada Tabriz, Iran, Syamsiuddin
al-Tabrizi atau Syamsi Tabriz, muncu di kota Kunya.. Kedatangan Syamsi
Tabriz inilah yang membawa perubahan besar dalam kehidupan Rumi. Selama
bertahun-tahun Rumi mengikuti sufi pengembara ini dan meninggalkan
sekolah yang telah beliau bina selama 4 tahun.
Syamsi Tabriz ialah seorang darwsih besar
yang karismatik. Pemikiran beliau sangat kritis dan radikal.
Khutbah-khutbahnya memikat dan kandungan khutbah-khutbahnya sangat
mendalam. Beliau ialah seorang sufi yang sangat berbeza dengan sufi
konvesional pada zamannya. Rumi mendapati dalam diri tokoh Syamsi Tabriz
keperibadian manusia yang berpengetahuan tinggi dan telah lama pula
beliau dambakan. Gambaran kepribadian apakah yang dijumpai Rumi dalam
diri Syamsi Tabriz? Gambaran peribadi seorang Insan Kamil, itulah
jawabnya. Syamsi mengembara ke pelbagai negara Islam yang penduduknya
sedang putus asa dan kebingungan disebabkan penaklukan tentara Mongol
dan peperangan Salib yang menghancurkan negeri-negeri kaum Muslimin.
Beliau pergi mengembara untuk mengkhutbahkan perlunya manusia mencintai
Tuhan agar kepercayaan dirinya tumbuh kembali. Beliau pula mengajarkan
umat Islam agar berikhtiar sekuat tenega memeerangi kelemahan diri
mereka dan bangkit menegakkan kembali keimanan untuk meraih masa depan
yang lebih baik. Syamsi mengembara tanpa memikirkan harta dan
keselamatan jiwanya hanya dengan maksud: mengajarkan perlunya manusia
mengembangkan tamadun yang sepenuhnya didasarkan atas cinta.
Demikianlah perjumpaan Rumi dengan Syamsi
Tabriz sejak awal memberi kesan mendalam terhadap kedua-dua tokoh
spiritual tersebut. Rumi tidak dapat berpisah daripada gurunya, kemana
saja gurunya pergi beliau mengikutinya. Lambat laun persahabatan
tersebut merubah kepribadian Rumi. Tokoh yang sebelumnya dipandang oleh
penduduk Qunya sebagai seorang guru syariat dan ilmu fiqah yang saleh
dan pendiam itu kini berubah menjadi seorang darwish dan penyair yang
gemar akan ekstase kerohanian. Perubahan itu lebih dirasakan lagi pada
tahun 1246 ketika Syamsi Tabriz tiba-tiba menghilang dan meninggalkan
Qunya menuju Damaskus, tanpa memberi kabar kepada Rumi Menurut
setengah-setengah riwayat Syamsi Tabriz meninggalkan Qunya kerana diusir
oleh murid-murid Rumi yang tidak menginginkan persahabatan antara Rumi
dan Syamsi berlangsung lebih lama. Hal ini dapat dimengerti kerana sejak
bertemu Syamsi Tabriz, Rumi tidak lagi hadir di kelas untuk
mengajar. Rumi menghabiskan seluruh waktunya untuk mendengarkan
khutbah-khutbah Syamsi Tabriz dan mempraktikkan disiplin kerohanian.
Sewaktu Syamsi Tabriz pergi ke
Damaskus, Rumi mengutus beberapa muridnya untuk menemui guru kerohanian
itu. Pada tahun 1247 Syamsi Tabriz berjaya dibujuk untuk kembali ke
Qunya, tetapi tak lama kemudian beliau menghilang untuk selama-lamanya.
Rumi berikhtiar untuk mencarinya sendiri ke merata tempat. Semakin lama
kerinduan Rumi akan kehadiran gurunya semakin mendalam. Rumi selalu membayangkan kehadiran gurunya dan pada saat-saat sedemikian
itu puisi-puisi mistikal Rumi dihasilkan.
Pada tahun 1249 Rumi kembali ke Qunya
sebagai seorang penyair dan memulai tugas barunya sebagai guru
kerohanian. Beliau mencipta tarian spiritual, iaitu tari-tarian berputar
seperti gasng yang oleh orang Eropah disebut “the Whirling Dervish’s
Dance”. Tarian ini dipertunjukkan oleh para pengikut Tarikat Maulawiyah
dalam upacara sama`, konser kerohanian sufi yang terdiri daripada
pembacaan azan, zikir, wirid, diiringi muzik (suling), rawatib (nyanyian
kudus) dan pembacaan puisi keagamaan. Dalam upacara sama` inilah
biasanya para sufi mengalami ekstase mistikal dan apabila yang
mengalaminya seorang penyair maka dia akan dapat menghasilkan
sajak-sajaknya. Rumi sendiri menghasilkan kebanyakan sajak-sajaknya pada
ketika beliau mengalami ekstase, atau selepas meditasi (tafakkur).
Sajak-sajak itu diucapkan oleh penyair dan dirakam oleh beberapa orang
murid atau temannya.
Rumi dan Karya-karyanya
Rumi ialah seorang penyair sufi yang
prolifik. Menurut A. J. Arberry beliau menulis kurang lebih 34.662 bait
puisi dalam bentuk ghazal (diwan), ruba`i dan mathnawi.
Di samping itu beliau juga menulis
beberapa risalah tasawuf berdasarkan khutbah-khutbah yang disampaikan
kepada murid-muridnya dan penduduk Qunya. Karya-karya Rumi yang
terkenal ialah:
1. Diwan-i Shamsi Tabriz (Sajak-sajak Pujian Kepada Shamsi Tabriz).
2. Mathnawi-i Ma`nawi
3. Ruba`iyat
4.. Fihi Ma Fihi (Di Dalamnya Ada Seperti Yang Ada Di Dalamnya)
5.. Makatib
6. Majalis-i Sab`ah
1. Diwan-i Shamsi Tabriz (Sajak-sajak Pujian Kepada Shamsi Tabriz).
2. Mathnawi-i Ma`nawi
3. Ruba`iyat
4.. Fihi Ma Fihi (Di Dalamnya Ada Seperti Yang Ada Di Dalamnya)
5.. Makatib
6. Majalis-i Sab`ah
1. Diwan Syamsi Tabriz.
Antologi ini terdiri daripada 36.000 bait puisi, sebahagian besarnya
berbentuk ghazal. Dalam setiap maqta` (bait akhir) Rumi selalu mencantum
nama Shamsi Tabriz sebagai pengganti nama dirinya. Nampak bahawa dalam
Diwan-nya itu Rumi, sebagai penyair, mengidentifikasi dirinya dengan
guru spiritualnya. Sebahagian besar sajak dalam antologi ini ditulis
pada ketika penyairnya mengalami ekstase kerohanian. Sajak-sajak dalam
Diwan sangat muzikal dan kaya akan ritme, sedangkan image-imagenya
sangat hidup. Pengaruh ekstase dan tarian mistikal Tarikat Maulawiyah
besar terhadap sajak-sajak dalam buku ini. Kerana penyairnya menumpukan
perhatian pada makna, maka ghazal-ghazal dalam Diwan banyak yang
menyimpang daripada prosodi dan metrum ghazal konvensional.
2. Mathnawi-i Ma`nawi.
Kitab ini disebut juga Husami-namah (Kitab Husam). Apabila Diwan-i
Shamsi Tabriz diilhami oleh Shamsi Tabriz, Mathnawi ditulis untuk
memenuhi permintaan Husamuddin, salah seorang murid Rumi. Husamuddin
meminta gurunya agar bersedia memaparkan rahsia-rahsia ilmu tasawuf
dalam sebuah sebuah karya sastera seperti Hadigah al-Haqiqah karya
Sana`i dan Mantiq al-Tayr karya Fariduddin `Attar. Buku ini dikerjakan
selama 12 tahun, dibahagikan kepada 6 jilid, terdiri daripada 35.700
bait sajak. Terjemahan dalam bahasa Inggeris tebalnya 2000 muka surat.
Abdurrahman Jami, penulis sufi abad ke-15 menyatakan bahawa Mathnawi-i
Ma`nawi merupakan Tafsir al-Qur`an dalam bahasa Persia (Hast Qur`an dar
zaban-i Pahlavi). Yang dimaksud tafsir di sini ialah ta`wil atau tafsir
spiritual terhadap ayat-ayat al-Qur`an yang ditulis dalam bentuk
prosa-puisi yang indah atau mathnawi. Buku ini dipandang oleh para
penilai sebagai karya sastra sufi terbesar sepanjang zaman. Nilai
didaktik dan sasteranya amat mengagumkan. Setiap jilid memuat
pendahuluan dalam bahasa Arab, dan selanjutnya Rumi menggunakan bahasa
Parsi. Rumi menghuraikan luasnya lautan semangat kerohanian dan
perjalanan manusia menuju dunia dan daripada dunia menuju kebenaran
hakiki.
3. Ruba`iyat.
Walaupun tidak masyhur sebagaimana kedua-dua karya Rumi di atas, namun
sajak-sajak dalam buku ini tidak kurang indah dan agung. Ruba-iyat
terdiri daripada 3.318 bait puisi. Melalui bukunya ini, sebagaimana
melalui sajak-sajaknya dalam Diwan, Rumi menunjukkan diri sebagai
penyair lirik yang agung.
4. Fihi Ma Fihi.
Himpunan percakapan Rumi dengan rakan-rakan dan murid-muridnya. Buku
ini kaya dengan hikmah dan membicarakan persoalan-persoalan yang
dipertanyakan oleh murid-murid atau sahabat-sahabat dekat Rumi tentang
berbagai perkara kemasyarakatan dan keagamaan.
5. Makatib. Himpunan surat-surat Rumi kepada sahabat-sahabat dekatnya, terutamanya Shalaluddin Zarkub dan seorang menantu perempuannya. Dalam buku ini Rumi mengungkap kehidupan spiritualnya sebagai seorang penempuh jalan kerohanian. Di dalamnya juga terkandung nasihat-nasihat Rumi kepada murid-muridnya berkenaan perkara-perkara praktikal dalam jalan tasawuf.
6. Majalis-i Sab`ah.. Himpunan khutbah Rumi di masjid dan majlis-majlis keagamaan.
Sajak-sajak dalam “Diwan”
Sudah pun dijelaskan bahawa sajak-sajak
Rumi dalam Diwan-i Shamsi Tabriz memiliki ritema dan kualiti muzik yang
kaya kerana kebanyakan sajak-sajak itu dicipta dalam suasana ekstase
mistikal. Sudah pun dijelaskan pula bahawa sebagaimana penyair sufi yang
lain gagasan yang diungkap Rumi dalam sajak-sajaknya ialah cinta
transendental (`ishq), iaitu sejenis cinta mistikal yang dapat menembus
bentuk formal dan membawa pecinta kepada hakikat kehidupan yang bersifat
spiritual. Cinta jenis ini, menurut Rumi, dapat menerbitkan kegairahan
spiritual terhadap sesuatu yang dicintai dan dengan itu mendorong
seseorang berikhtiar mengenal lebih dalam dan secara langsung yang
dicintai.
Dalam sajak-sajaknya Rumi menggunakan
banyak kisah-kisah yang bersifat kesejarahan atau legenda. Kisah-kisah
tersebut digunakan sebagai perumpamaan (tamsil) untuk melukiskan
pengalaman mistikalnya yang berkenaan cinta transendental. Image-image
visual dan simbolik sajak-sajak Rumi juga kata, diambil daripada alam,
peristiwa sejarah, kehidupan sehari-hari dan bentuk peribadatan. Image
anggur dan cawan, alam tetumbuhan dan khaywan, kosmologi dan
anthropologi. sangat digemari Rumi. Image simbolik yang juga sangat
sering digunakan ialah yang berkenaan cahaya, misalnya matahari, bulan,
lampu, pelita dan api. Cinta sering dilukiskan api yang nyalanya dapat
menerangi kegelapan, tetapi juga api yang dapat membakar keinginan atau
nafsu rendah.
Ciri lain puisi Rumi yang khas ialah pada
setiap baris terakhir penyair menggunakan kata-kata Diam! atau menyebut
nama Shamsi Tabriz, yang dikaitkan dengan Matahari Kebenaran, sebab
kata Shams sendiri bermakna matahari dan kepribadian Shamsi Tabriz
memancarkan cahaya kebenaran. Diam merujuk kepada rahsia terdalam
penciptaan ialtu ‘cinta ilahi’ (`ishq-i ilahi), atau sikap jiwa yang
selalu memusatkan pandangan (tafakkur, meditasi) kepada Sang Pencipta.
]Rumi berpendapat bahawa untuk memahamkan
kehidupan dan asal-usul kewujudan dirinya manusia mesti menggunakan
jalan Cinta, bukan hanya jalan Pengetahuan. Cinta, menurut Rumi ialah
asas penciptaan alam semesta dan kehidupan di dalamnya. Di sini cinta
dapat bermakna kehendak yang kuat untuk mencapai sesuatu atau
menjelmakan sesuatu. Cinta juga dapat diberi makna pengetahuan intuitif
yang bersifat langsung, yang didasarkan pada gerak hati terdalam. Dalam
kehidupan beragama cinta dapat diberi erti sebagai keimanan yang
mendalam dan kukuh kepada Yang Maha Kuasa. Kalau saja cinta yang
menggerakkan perputaran alam semesta dan kehidupan makhluq-makhluq di
dalamnya, maka cinta pulalah yang menggerakkan kehidupan manusia menuju
kebehagiaan dan kebenaran.
Cinta juga sering diberi erti sebagai
kecenderungan hati seseorang yang kuat terhadap sesuatu. Cinta pada
akhirnya membawa seseorang mengenal sesuatu secara mendalam, iaitu
hakikat kehidupan yang terselindung di sebalik bentuk-bentuk zahir yang
aneka ragam dan memukau. Kerana cinta dapat membawa manusia kepada
Kebenaran Tertinggi maka Rumi berpendapat bahawa cinta merupakan sayap
yang dapat membawa terbang seseorang kepada Sang Pencipta (Khaliq):
Inilah Cinta: Terbang tinggi ke langitSetiap saat mencampakkan ratusan hijab
Pertama kali menyangkal hidup (zuhud),
Pada akhirnya (jiwa) berjalan tanpa kaki (tubuh)
Cinta memandang dunia telah raib
Dan tak mempedulikan yang nampak di mata
…
Ia memandang jauh ke sebalik dunia bentuk-bentuk
Menembus hakikat segala sesuatu
Dalam sajak di atas nampak bahawa Rumi
memandang cinta sebagai suatu dorongan luhur dan tak tereralakkan, suatu
dorongan yang membawa seseorang mencapai hakikat kehidupan yang baqa’.
Hidup di dalam Yang Baqa merupakan kebahagiaan tertinggi, bebas daripada
bentuk-bentuk yang memukau mata.
Semua agama, menurut Rumi, mengajarkan
pentingnya cinta, iaitu cinta kepada alam kerohanian yang merupakan
asal-usul kehidupan manusia. Cinta kerohanian semacam itu dapat menembus
perbezaan ras, bangsa dan agama. Dalam sebuah sajaknya Rumi mengatakan
bahawa hakikat manusia sebenar ialah kediriannya yang bersifat spiritual
atau rohani. Diri spiritual manusia tidak berasal daripada tanah atau
api, tetapi daripada Sang Maha Pencipta.
Apa yang mesti kulakukan o Muslim? Kerana aku tak mengenal diriku.
Aku bukan Kristian, Yahudi, Majusi dan bukan pula Muslim.
Aku tak berasal dari Timur atau Barat, tidak dari darat atau lautan.
Aku tidak dari alam, atau angkasa biru yang berputar-putar.
Aku tidak dari tanah, air, udara atau api.
Tidak dari bintang zuhra atau debu, tidak dari kewujudan dan wujud.
Aku tidak berasal dari India, China, Bulgar atau Saqsin.
Tidak dari kerajaan Iraq atau Khurasan.
Aku tidak berasal dari dunia ini, tidak dari alam akhirat,
Tidak pula dari syurga atau neraka;
Tidak daripada Adam dan Hawa, atau Taman Eden dan Malaikat Ridwan
Tempatku tidak bertempat, jejakku tidak berjejak.
Aku bukan milik tubuh dan jiwa, aku milik jiwa Kekasih.
Kubuang dualitas, kupandang dua alam satu semata;
Satu sahaja yang kucari, Satu yang kukenal, kulihat dan kuseru
Dialah Yang awal dan yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin.
Dalam sajak di atas Rumi pertama-tama menyatakan bahawa cinta sejati
dapat membawa manusia menembus bentuk-bentuk zahir dan mencapai hakikat
tertinggi kemanusiaan. Kerat terakhir sajak di atas merupakan petikan
ayat al-Qur`an yang menjelaskan bahawa Tuhan itu Abadi, serta Maha
Nyata dan sekaligus Maha Gaib. Tuhan itu Maha Nyata apabila manusia
dapat membaca tanda-tanda kebesaran-Nya dalam penciptaan alam semesta
dan diri manusia. Tanda-tanda kebesaran Tuhan dalam diri manusia ialah
penciptaan roh, yang merupakan pusat kehidupan manusia. Menurut
al-Qur`an roh manusia itu dihembuskan Allah ke dalam tubuh, dan dengan
rohnya itu manusia menjadi khalifah Tuhan di atas bumi. Tanda kebesaran
Tuhan yang lain dalam diri manusia ialah adanya akal dan fikiran yang
merupakan fakulti kejiwaan utama, dan akal fikiran tidak dimiliki oleh
makhluq lain kecuali manusia. Kerana memiliki akal dan cinta manusia
dapat menyerap berbagai pengetahuan tentang alam nyata mahupun alam
kerohanian.
Dalam sajak di atas Rumi melihat hakikat
manusia dari dalam, daripada alam batin. Sememangnya secara hakikinya
manusia itu makhluq spiritual dan asal penciptaan manusia bukan daripada
tanah atau syurga, melainkan daripada Yang Maha Gaib. Melalui sajak di
atas Rumi memperlihat dirinya sebagai penyair universal. Di dalam kerat
pertama sajak di atas Rumi mengatakan bahawa mengenal hakikat diri
sangat penting untuk setiap Muslim, sebab dengan mengenal hakikat
dirinya manusia akan mengenal Tuhannya sebagaimana dinyatakan dalam
sebuah Hadis. Dengan mengenal Tuhan secara mendalam, manusia dapat
mendekatkan diri dengan Tuhannya.
Salah satu wujud cinta dalam kehidupan
manusia ialah ketaatan seseorang melaksanakan syariat atau perintah
agamanya, terutamanya sembahyang atau salat. Dalam tradisi Islam salat
dianggap sebagai mikrajnya orang Islam atau kenaikan jiwa manusia menuju
Yang Satu. Seraya membayangkan kegairahan guru spiritualnya, Shamsi
Tabriz, yang sembahyangnya khusuk, Rumi menulis:
Sekarang kulihat kekasih jiwaku, mutiara segala ciptaan, terbang ke langit bagaikan roh Mustafa;
Matahari malu melihat wajahnya, di angkasa cuaca kelam kabut bagaikan hati; Cahayanya membuat air dan lumpur lebih terang daripada api
. Kataku, “Mana tangganya untuk tempat naik, tunjukkan! Aku ingin juga terbang
ke langit!”
Ia menjawab, “Tangga tempatmu naik ialah kepalamu, sujudkan kepalamu di bawah telapak kakimu!”
Apabila kau jejakkan kakimu di atas kepalamu, maka kakimu akan mengendarari bintang-bintang!
Apabila kau ingin mengarung angkasa luas, angkatlah kakimu ke langit, mari naik!
Di hadapanmu terbentang seratus jalan menuju langit, setiap subuh kau terbang tinggi ke langit seperti seuntai doa.
Dalam sajak di atas Rumi menyatakan
bahawa bentuk sembahyang orang Islam yang terdiri daripada tegak, rukuk
dan sujud, merupakan simbol daripada kenaikan menuju Yang Haqiqi.
Menyembah Tuhan dengan bersujud bermakna meletakkan kaki di langit, dan
dalam sembahyang seseorang terbang ke langit mengendarai doa yang
diucapkan. Sajak di atas dapat dirujuk pada sajak “Inilah Cinta: Terbang
tinggi ke langit…” Image-image berkenaan bentuk peribadatan Islam juga
dapat dilihat dalam sajak Rumi yang lain:
Dalam salat malam, tatkala matahari terbenam, jalan panca indera tertutup dan jalan menuju yang Gaib terbuka luas;
Kemudian malaikat penjaga tidur tiba menghalau roh pergi ke langit, bagaikan penggembala menghalau burung-burung.
Menurut Rumi segala bentuk ibadah,
khususnya sembahyang, zikir, tafakkur dan membaca al-Qur`an (tilawah
atau tartila) merupakan bentuk penyucian diri, iaitu penyucian diri
dari nafsu rendah, dan penyucian kalbu.atau hari, iaitu daripada
inggatan kepada selain Dia. Dalam sajak berikut Rumi menggambarkan cinta
kepada dunia membuat beban jiwa manusia menjadi berat. Beban itu mesti
dibersihkan sebab apabila telah bertumpuk akan menjelma sampah sarap
yang mengotori jiwa Dengan menyucikan diri dan hati kesihatan jiwa akan
pulih semula dan penglihatan hati akan jernih dan terang.
Dari langit setiap saat wahyu turun ke dalam kalbumu, “Bagaikan sampah berapa lamakah usia hidupmu di atas bumi? Naiklah!”
Sesiapa yang beban jiwanya berat, pada akhirnya akan menjadi sampah. Apabila sampah memenuhi tong, bersihkan!
Janganlah lumpur itu dibuat kewruh setiap kali, agar air kolammu jernih dan sampah mudah dibuang dan dukamu sembuh.
Demikian roh, bagaikan obor, asapnya lebih tebal dibanding cahayanya. Apabila gumpalan asap lenyap, cahaya dalam rumah tak akan dipermainkan lagi.
Kau sentiasa bercermin ke dalam air keruh, kerana itu bukan bulan ataupun matahari kau lihat Apabila kegelapan menutup langit, matahari dan bulan tak nampak.
Angin utara bertiup, udara segar. Untuk membawa udara segar angin sepoi bertiup pada waktu subuh.
Angin roh bertiup membuat segar dada yang sesak disebabkan derita. Nafas ringan terhela dan jiwa rasa hampa.
Di bumi roh ialah pengembara asing, negeri tanpa ruang itulah yang ia rindukan, Mengapa nafsu amarah sentiasa gelisah? .
.Roh suci, berapa lamakah kau akan mengembara di bumi? Kau elang raja, terbanglah kembali kepada siul Baginda!
Sesiapa yang beban jiwanya berat, pada akhirnya akan menjadi sampah. Apabila sampah memenuhi tong, bersihkan!
Janganlah lumpur itu dibuat kewruh setiap kali, agar air kolammu jernih dan sampah mudah dibuang dan dukamu sembuh.
Demikian roh, bagaikan obor, asapnya lebih tebal dibanding cahayanya. Apabila gumpalan asap lenyap, cahaya dalam rumah tak akan dipermainkan lagi.
Kau sentiasa bercermin ke dalam air keruh, kerana itu bukan bulan ataupun matahari kau lihat Apabila kegelapan menutup langit, matahari dan bulan tak nampak.
Angin utara bertiup, udara segar. Untuk membawa udara segar angin sepoi bertiup pada waktu subuh.
Angin roh bertiup membuat segar dada yang sesak disebabkan derita. Nafas ringan terhela dan jiwa rasa hampa.
Di bumi roh ialah pengembara asing, negeri tanpa ruang itulah yang ia rindukan, Mengapa nafsu amarah sentiasa gelisah? .
.Roh suci, berapa lamakah kau akan mengembara di bumi? Kau elang raja, terbanglah kembali kepada siul Baginda!
Menurut Rumi dalam kenyataan manusia
selalu melihat ke dalam air yang keruh (dunia) sehingga cahaya bulan dam
matahari (petunjuk Tuhan) tidak nampak. Kegelapan dalam hati manusia
sendirilah yang membuat manusia tifak dapat melihat matahari dan bulan
yang sebetulnya bersinar di dalam dirinya. Rumi juga menyatakan bahawa
sembahyang menyembutkan jiwa manusia dari duka yang dideritanya. Cinta
ialah seperti sembahyang, dapat menyembuhkan manusia daripada duka yang
dideritanya. Lebih jauh Rumi menyatakan bahawa Cinta memiliki kekuatan
luar biasa dalam merubah kepribadian, perasaan dan fikiran manusia. Hal
ini dinyatakan dalam sajak berikut:
Kerana cinta duri menjadi mawar
Kerana cinta cuka menjelma anggur segar
Kerana cinta pentungan menjadi mahkota penawar
Kerana cinta kemalangan menjadi keberuntungan
Kerana cinta rumah penjara nampak bagaikan kedai mawar
Kerana cinta timbunan debu kelihatan sebagai taman
Kerana cinta api berkobar menjadi cahaya menyenangkan
Kerana cinta Saytan berubah menjadi bidadari
Kerana cinta batu keras menjadi lembut bagaikan mentega
Kerana cinta duka menjadi riang gembira
Kerana cinta hantu berubah menjadi malaikat
Kerana cinta singa tidak menakutkan bagaikan tikus
Kerana cinta sakit menjadi sihat
Kerana cinta amarah berubah menjadi keramah-tamahan
Cinta juga dapat membawa pergi seseorang
ke luar daripada dirinya dan mencapai persatuan rahsia dengan Raja
Dunia. Sembahyang yang khusyuk, doa yang diserukan kuat-kuat dalam hati,
permohonan taubat yang sungguh-sungguh, dapat membuat seseorang merasa
sangat dekat dengan Tuhan dan berpeluang memperoleh petunjuk dan
permohonannya dikabulkan. Rumi menulis dalam sajaknya:
Seperti mawar aku tertawa seluruh tubuh, tak hanya mulut, sebab aku berada di luar diriku, bersendiri bersama Raja Dunia.
Kau yang datang pada waktu subuh membawa pelita dan membawa terbang hatiku, bawalah rohku terbang juga, jangan hanya hatiku!
Jangan bikin rohku nanar cemburu, jangan kau pisah ia daripada hatiku; jangan hanya hatiku dipanggil menghadap hadirat-Mu!
Kirimlah pesanan kerajaan, sebar luaskanlah maklumat, o Sultan! Berapa lamakah hatiku akan tinggal di hadirat-Mu, sedangkan rohku tetap sebatang kara?
Apabila malam ini kau tak datang, sebagaimana kemarin, dan bibirku lunglai kerananya, maka aku akan meronta bersama rohku sekuat tenaga, tidak bersendiri aku ini meratap.
Dalam mencapai kebenaran tertinggi atau kebenaran agama, menurut Rumi, jalan Cinta lebih utama dibandingkan jalan Akal atau Pengetahuan. Rumi menulis:
.. Pencinta punya pelindung dalam pembuluh darahnya,
Pencinta sibuk membicarakan Cinta yang tak dapat dibandingkan.
Kata Akal, “Rukun iman yang lima perkara sudah mencukupi, tiada lagi jalan”
Cinta menjawab, “Ada sebuah jalan, berulang kali aku melaluinya!”
Akal melihat pasar, kemudian mulai berjualan
Cinta melihat ada banyak pasar di sebalik pasar akal.
Banyak al-Hallaj mereka temui di sana, mereka meyakini jiwa cinta
Dan menolak mimbar seraya memilih tiang gantungan
Pencinta yang faqir memiliki penglihatan hati penuh pesona
Orang yang hanga mengandailkan pada akal, hatinya gelap, semua disangkalnya
Akal berkata, “ Janganlah kakimu dijejakkan di situ,
Di halaman istana hanya duri yang tumbuh!”
Cinta berkata, “Duri-duri ini semuanya milik akal yang bersarang dalam dirimu!”
Waspadalah dan diam, buanglah duri kehidupan dari telapak kaki!
Supaya kau mendapat pelindung di dalam dirimu.
Shamsi Tabriz! Kaulah matahari dalam awan kata-kata;
Apabila matahari terbit, maka setiap kata pun sirna!
Pencinta sibuk membicarakan Cinta yang tak dapat dibandingkan.
Kata Akal, “Rukun iman yang lima perkara sudah mencukupi, tiada lagi jalan”
Cinta menjawab, “Ada sebuah jalan, berulang kali aku melaluinya!”
Akal melihat pasar, kemudian mulai berjualan
Cinta melihat ada banyak pasar di sebalik pasar akal.
Banyak al-Hallaj mereka temui di sana, mereka meyakini jiwa cinta
Dan menolak mimbar seraya memilih tiang gantungan
Pencinta yang faqir memiliki penglihatan hati penuh pesona
Orang yang hanga mengandailkan pada akal, hatinya gelap, semua disangkalnya
Akal berkata, “ Janganlah kakimu dijejakkan di situ,
Di halaman istana hanya duri yang tumbuh!”
Cinta berkata, “Duri-duri ini semuanya milik akal yang bersarang dalam dirimu!”
Waspadalah dan diam, buanglah duri kehidupan dari telapak kaki!
Supaya kau mendapat pelindung di dalam dirimu.
Shamsi Tabriz! Kaulah matahari dalam awan kata-kata;
Apabila matahari terbit, maka setiap kata pun sirna!
Telah dijelaskan bahawa karya seorang
penulis sufi biasanya merupakan tafsir terhadap ayat al-Quran, termasuk
bentuk peribadatan atau ajaran agama. Dalam sajak berikut Rumi
menafsirkan puasa pada bulan Ramadhan bukan saja sebagai bentuk
penyucian diri atau pengendalian diri, tetapi juga sebagai ikhtiar untuk
memberi peluang kepada jiwa mendapatkan hidangan dari langit yang lebih
lazat daripada hidangan (makanan) yang berasal dari bumi.
Bulan puasa telah tiba. larangan raja mulai berlaku: jauhkan tanganmu daripada makanan, hidangan rohani telah disediakan.
Roh telah bebas dari pengasingan dirinya dan menundukkan tangan tabiat jelek; hati yang sesat telah dikalahkan dan perajurit iman telah sampai.
Bala tentera penidur telah menyerah dan segera ditawan, dari bara penyulut api jiwa tiba seraya meratap;
Lembu itu begitu molek, Musa bin Imran muncul; melaluinya si mati hidup semula apabila badannya telah melaksanakan upacara qurban;
Puasa ialah upacara qurban kita, yang menghidupi jiwa; mari kita qurbankan badan kita, kerana jiwa tiba sebagai tamu;
Iman yang teguh ialah awan lembut, kearifan ialah hujan yang tercurah darinya, kerana pada bulan iman inilah al-Qur`an diwahyukan.
Apabila nafsu badani dikawal, roh akan mikraj ke langit; apabila pintu penjara dirubuhkan maka jiwa akan mencapai pelukan Kekasih.
Hati telah menukar tabir gelapnya dan menggerakkan sayapnya ke angkasa; Hati, yang menyerupai malaikat, sekali lagi tiba di tengah mereka.
Tangkaplah tali pengikat tubuhnya, di atas perigi berteriaklah, “Yusuf dari Kana`an telah tiba!”
Pada waktu `Isa Almasih terjatuh dari keledainya maka doanya diterima Allah;
Cucilah tanganmu, kerana Hidangan langit telah tiba;
Cucilah tangan dan mulutmu, jangan makan atau bercakap=cakap; carilah kata dan suapan nasi yang diturunkan untuk dia Si Diam!
Semua ibadah yang dilakukan dengan tulus dan ikhlas oleh seorang pemeluk agama yang teguh merupakan manifestasi daripada cinta. Demikian pula halnya dengan ibadah puasa. Sebagai ibadah, puasa pada bulan Ramadhan merupakan bentuk pengurbanan jiwa. Sememangnya cinta menuntut pengurbanan. Pengurbanan yang dimaksud ialah pengurbanan jiwa dan hati, yang hanya diperuntukkan kepada-Nya.
Rumi, Muzik dan Puisi
Rumi, sebagaimana para sufi pada umumnya dalam abad ke-13, bukan hanya
pencinta puisi, tetapi juga pencinta seni secara keseluruhannya termasuk
muzik dan tari. Bagi mereka seni yang bercorak keagamaan dan kerohanian
dapat dijadikan tangga naik atau media transendensi menuju pengalaman
religius atau transendental. Rumi sendiri juga seorang pencipta
komposisi muzik dan lagu, serta seorang koreografer ulung pada zamannya.
Beliau mahir meniup suling. Alat muzik kegemarannya ialah suling,
pandura, rebab, biola, rebana, tabla dan pandura. Bukunya Mathnawi
diawali dengan pemaparan “Kisah Lagu Seruling”, yang melambangkan dan
mengekspresikan kerinduan para sufi untuk kembali ke kampung halamannya
dalam alam ketuhanan, atau mengekspresikan kerinduan mereka kepada
Tuhan, Sang Kekasih.
Menurut Rumi kerinduan segala sesuatu kepada asal-usulnya atau permulaan kejadian dirinya bersifat kudrati. Dalam Mathnawi III:4436-7, beliau menulis:
Menurut Rumi kerinduan segala sesuatu kepada asal-usulnya atau permulaan kejadian dirinya bersifat kudrati. Dalam Mathnawi III:4436-7, beliau menulis:
Hasrat tubuh akan padang hijau dan air memancur
Terbit kerana ia (Adam) berasal dari tempat itu (Taman Eden)
Kerinduan jiwa kepada Kehidupan dan Yang Maha Hidup
Terbit kerana ia berasal dari Jiwa Abadi
Dalam sajak “Kisah Lagu Seruling” Rumi
mengumpamakan kerinduan seorang sufi untuk bersatu dengan Tuhannya
sebagai kerinduan suling yang ingin bersatu semula dengan asalnya iaitu
batang pokok bambu yang rimbun. Rasa pilu yang terdengar melalu lagu
seruling terbit kerana kesedaran bahawa ia terpisah jauh dari batang
pokok bambu yang merupakan tempatnya yang asal dan sebenar. Hasratnya
untuk kembali dan bersatu semula dengan asalnya itu menyebabkan ia
tergerak menyampaikan keluh-kesahnya dalam nyanyian yang merdu. Suling
atau seruling melambangkan jiwa yang rindu kepada asal-usul
kerohaniannya dalam alam metafizik, dan kerinduannya itu dibakar oleh
api cinta. Kerana dibakar oleh api cinta maka nyanyian indah dan lagu
merdu dapat dihasilkan.
Dalam sajak itu Rumi hendak menjelaskan
bahawa semua bentuk seni yang indah berasal dari hati seorang seniman
yang cinta akan keindahan hakiki dan daripada perasaan rindunya yang
membara untuk mencapai keindahan tersebut. Melalui lagu atau nyanyian
yang disampaikannya itu seseorang berikhtiar mengekpresikan dan
merealisasikan dirinya. Dalam bahagian awal “Kisah Lagu Seruling” Rumi
menyatakan, bermaksud:
Dengan alunan pilu seruling bambu
Sayu sendu lagunya menusuk kalbu
Sejak ia bercerai dari batang pokok rimbun
Sesaklah hatinya dipenuhi cinta dan kepiluan
Walau dekat tempatnya laguku ini
Tak seorang tahu serta mau mendengar
O kurindu kawan yang mengerti perumpamaan ini
Dan mencampur rohnya dengan rohku
Api cintalah yang membakar diriku
Anggur cintalah yang memberiku cita mengawan
Inginkah kau tahu bagaimana pencinta luka?
Dengar, dengar alunan lagu seruling bambu
Melalui ungkapan “Inginkah kau tahu
bagaimana pencinta luka? Dengar, dengar alunan lagu seruling bambu!”
Rumi menyatakan bahawa mereka yang ingin mengetahui derita jiwa para
sufi, yang membuat ia merindukan Tuhannya, agar mendengar kisah lagu
seruling dan memahamkan maknanya. Seruling menyampaikan lagu yang sendu
dan pilu, namun indah dan merdu, kerana kepiluannya yang mendalam
disebabkan terpisah daripada asal-usul kerohaniannya.
Kepiluan disebabkan berpisah dengan
seseorang atau kampung halaman membuat kerinduan seseorang terbakar, dan
rindu merupakan permulaaan daripada cinta. Ungkapan ‘api cinta’ yang
dinyatakan Rumi dalam sajaknya itu ialah api rindu. Sama seperti halnya
cinta, rasa rindu dapat membawa jiwa atau fikiran seseorang terbang jauh
melampaui awan gemawan untuk menemui orang yang dirindui atau dicintai.
Dalam sajak di atas Rumi sekaligus juga hendak menyatakan bahawa muzik
atau nyanyian dapat dijadikan media menyampaikan rasa rindu dan media
untuk terbang jauh ke alam transendental atau kerohanian.
Dalam sajaknya yang lain Rumi menyatakan
bahawa nyanyian yang merdu dan muzik keagamaan yang indah dapat
menerbitkan perasaan rindu dan cinta bangkit dalam hati pendengarnya.
Hal ini dapat terjadi disebabkan lagu keagamaan yang indah dan penuh
harmoni dapat membawa ingat jiwa manusia kepada suara-suara yang pernah
di dengarnya dalam alam keabadian. Menurut al-Qur`an Adam dan Hawa, yang
merupakan nenek moyang umat manusia, pada mulanya bermukim di Taman
Firdaus atau Taman Eden yang diliputi oleh keindahan. Di sana mereka
akrab sekali dengan lagu-lagu dan suara yang indah. Maka suara muzik
atau lagu keagamaan yang indah dapat membakar kerinduan jiwa manusia
kepada syurga, yang merupakan tempatnya yang asal. Rumi menulis, yang
maksudnya:
Nada suling dan puput yang menawan telinga
Dikatakan dari putaran angkasa biru asalnya
Sedangkan iman yang mengatas rantai angan dan cita
Tahu siapa pembuat suara sumbang dan merdu
Kami ialah bahagian daripada Adam, bersamanya kami dengar
Lagu indah para malaikat dan serafim
Kenangan kami, walau tolol dan menyedihkan
Sentiasa tertambat pada alunan muzik syurga
O, Muzik ialah darah dan daging para pencinta
Muzik menggetarkan jiwa sehingga terbang ke angkasa
Bara berpijar, api abadi dalam hati semakin berkobar
Kami dengar sentiasa dan hidup dalam ria dan damai
Dalam sajaknya yang lain Rumi menyatakan betapa besarnya pengaruh muzik keagamaan kepada jiwa pendengarnya:
.
Gemuruh bunyi terompat dan gedebam suara genderang
Serupa dengan suara gemuruh nafiri alam semesta
Para filosof berkata keselarasan ini dari perputaran angkasa asalnya
Melodi yang dilagukan orang dengan pandura dan kerongkongan
Sesungguhnya ialah suara perputaran angkasa
Para pemeluk agama yang teguh percaya
Pengaruh syurga membuat yang tak menyenangkan menjadi indah
Sejak itulah muzik merupakan hidangan para pencinta Tuhan
Kerana di dalam muzik ada cita rasa ketenteraman jiwa
Apabila jiwa mendengar lagu dan suara seruling
Ia mengumpulkan tenaga dan menjelmakannya ke dalam tindakan
Api cinta semakin berkobar-kobar kerana nada lagu yang indah
Seperti semangat orang melemparkan benda berat ke dalam air
Selain dapat membawa pendengarnya ke alam
transendental, musik keagamaan dapat memberi ketenangan kepada jiwa dan
juga memberi kekuatan, dan dengan demikian keimanan terhadap Sang
Kebenaran Tertinggi semakin teguh dan mendalam. Cinta yang mendalam
kepada Tuhan dikaitkan dengan tumbuhnya kekuatan batin, dan muzik dapat
memberi perangsang ke arah itu.
Teks “Lagu Seruling”
Berikut disajikan terjemahan teks “Lagu Seruling” yang lebih lengkap.
Terjemahan ini didasarkan pada naskhah tertua yang diterbitkan oleh R.
A. Nicholson beserta terjemahannya dalam bahasa Inggeris. Maksud
penyajian teks ini ialah agar pelajar dapat melihat lebih jelas kaitan
perumpamaan lagu seruling dengan gagasan Rumi tentang cinta.
Dalam teks dikatakan, “Setiap orang yang
berada di tempat yang jauh dari asalnya, akan merasa rindu untuk kembali
ke masa tatkala ia masih bersatu dengannya (asalnya)”. Kerinduan
tersebut dilambangkan dengan kerinduan seruling untuk bersatu semula
dengan batang pokok bambu. Ungkapan tersebut diilhamkan oleh ayat
al-Qur`an, “Inna li` Llah wa inna ilayhi raji`un” (Sesungguhnya daripada
Tuhan dan kembali kepada Tuhan).
Ungkapan di atas menjelaskan bahawa asas
kewujudan segala sesuatu bersifat spiritual. Manusia ialah makhluq atau
ciptaan Tuhan paling indah dan sempurna dilihat daripada sudut
kerohanian, kerana menurut al-Qur`an manusia itu dicipta mengikut
surah-Nya (gambar-Nya) dan ke dalam diri manusia Tuhan meniup roh.
Berlandaskan kenyataan tersebut maka roh dipandang sebagai hakikat
terdalam diri manusia. Maka itu para sufi menyatakan bahawa di dalam roh
manusia ada bahagian paling inti yang merupakan rahsia Tuhan (sirr
Allah). Dengan itu manusia pertama sekali ialah makhluq spiritual,
bukan makhluq jasmani. Yang menentukan kehidupan manusia ialah
kerohaniannya.
Rumi juga menyatakan bahawa “Roh tidak
terdinding daripada tubuh, pun tubuh tidak terdinding daripada roh,
namun tubuh tidak diperkenankan melihat roh”. Dengan itu roh dan tubuh
sebetulnya dekat, tetapi tubuh tidak dapat melihat roh. Ungkapan
tersebut didahului dengan ungkapan, “Rahsia laguku tidak jauh tempatnya
daripada ratapku, namun mana ada telinga mandengar dan mata melihat.”
Ini bermakna makna atau rahsia yang tersembunyi dalam lagu sendu
seruling bambu tidak dapat difahamkan dengan pemahaman biasa. Ia dapat
difahamkan melalui pendengaran dan penglihatan batin (makrifat).
Terbitnya kesedaran jiwa dan roh akan
asal-usul kerohaniannya digerakkan oleh Cinta, bukan oleh logika. Kata
Rumi, “Inilah api Cinta yang bersemayam dalam seruling bambu, inilah
kobaran semangat Cinta yang terkandung dalam anggur”. Seruling bambu
merujuk kepada jiwa yang diresap kerinduan mendalam kepada Tuhan,
kobaran semangat Cinta dalam anggur merujuk kepada ekstase atau
kemabukan mistikal dalam jiwa seorang sufi yang tertawan oleh
keindahan-Nya.
Tubuh dan roh merupakan dua entiti yang sesungguhnya bertentangan, namun
menjadi satu dalam diri manusia. Kerana tubuh dan roh pada dasarnya
saling bertentangan, maka pertentangan yang ada dalam jiwa manusia
merupakan perkara biasa atau kudrati. Tubuh (hawa nafsu) memandang
bahawa lagu kerohanian yang didengar dari suling bambu merupakan racun,
tetapi roh atau jiwa yang rindu kepada Yang Haqiqi memandang lagu
tersebut sebagai ubat penawar atau ubat yang dapat menyembuhkan duka
disebabkan rindu.Kata Rumi, “Siapa pernah melihat racun dan ubat
penawarnya sekaligus seperti seruling?”
LAGU SERULING
Dengar lagu seruling bambu menyampaikan kisah pilu perpisahan
Tuturnya, “Sejak daku tercerai dari indukku rumpun bambu,
Ratapku membuat lelaki dan wanita mengaduh.
Kuingin sebuah dada koyak disebabkan perpisahan
Dengan itu dapat kupaparkan kepiluan berahi cinta.
Setiap orang yang berada jauh dari tempat asalnya
Akan rindu untuk kembali dan bersatu semula dengan asalnya.
Dalam setiap pertemuan kunyanyikan nada-nada senduku
Bersama mereka yang yang riang dan sedih aku berhimpun
Rahsia laguku tidak jauh daripada ratapku
Namun mana ada telinga mendengar dan mata melihatnya?
Tubuh tidak terdinding daripada roh
Pun roh tidak terdinding daripada tubuh
Namun tak ada tubuh yang diperkenankan melihat roh
Riuhnya suara seruling ialah kobaran api, bukan tiupan angin
Mereka yang tidak memiliki api hidupnya sia-sia
Inilah api Cinta yang bersemayam dalam seruling bambu
Inilah kobaran semangat yang terkandung dalam anggur
Seruling ialah sahabat mereka yang terpisah dari sahabatnya
Lagunya sendu dan menusuk kalbu kami
Siapakah yang pernah melihat racun
Dan ubat penawarnya sekaligus seperti seruling?
Siapakah yang pernah menyaksikan orang berduka cita
Dan Pencinta yang menyampaikan rasa rindunya seperti seruling?
Seruling mengisahkan jalan bersimbah darah
Dan menyingkap kembali rindu dendam Majenun.
Hanya kepada meraka yang tidak faham
Kefahaman dan pemahaman dialamatkan:
Lidah tidak punya pelanggan selain telinga.
Dalam kepiluan kami hari-hari hidup kami berlalu tak kenal waktu
Hari-hari kami juga berjalan bersama kepiluan membara
Apabila hari-hari kami mesti pergi, biarlah kami pergi
Abadilah Kau, sebab tiada yang lebih kudus daripada Kau!
Mereka yang tak terpuaskan oleh air-Nya bukan ikan:
Mereka yang tak punya roti buat dimakan setiap hari
Akan berasa alangkah lamanya hari-hari berlalu.
Tiada barang mentah dapat memahamkan kemasakan:
Kerana itu akan kuringkas kata-kataku. Selamat tinggal!
Anakku, patahkan belenggu yang mengikatmu dan bebaskan dirimu!
Berapa lamakah kau akan terikat pada perak dan emas?
Apabila air laut kau tuang ke dalam kendi,
Berapa banyakkah air yang dapat ditakung?
Hanya cukup untuk bekal sehari!
Kendi itu, mata yang tak pernah kenyang itu, takkan penuh:
Ingatilah, tiram yang belum penuh takkan berisi mutiara.
Dia yang jubahnya dipinjamkan dengan cinta sajalah
Yang bersih daripada kelobaan dan ketamakan.
Selamat datang, ya Cinta yang memberi keberuntungan indah–
Kaulah tabib sehala sakit kami, pemulih keangkuhan dan kesombongan
Filosof dan Tabib kami yang sebenar!
Kerana Cinta tubuh yang terbuat daripada tanah ini
Dapat terbang ke angkasa luas, mikraj!
Gunung-gunung lantas menari dan tangkas kakinya.
Cinta menurunkan ilham kepada Bukit Sinai, o Pencinta!
Kerana itu Bukit Sinai mabuk dan Musa jatuh pingsan!
Apabila aku mengikut bibir yang satu haluan dengan bibirku
Aku akan seperti seruling, menazamkan semua yang dapat kunazamkan.
Tetapi dia yang terpisah daripadanya, mulutnya akan membisu
Walaupun memiliki ratusan pantun dan gurindam!
Apabila mawar pergi dan taman lenyap
Maka kisah burung bulbul takkan lagi terdengar.
Kekasih ialah segala-galanya dan pencinta ialah hijabnya
Kekasih ialah hidup dan pencinta benda mati.
Apabila Cinta tidak mengacuhkannya
Jadilah ia bagaikan burung tanpa sayap, sungguh malang!
Bagaimana aku memiliki kesedaran di hadapan dan di sampingku,
Apabila Cahaya Kekasih tak menampakkan diri di hadapan dan sampingku?
Cinta menghendaki hakikat dunia diperlihat:
Apabila cermin tak memantulkan bayangan, apakah sebabnya?
Tahukah kau mengapa cermin jiwa tak memantulkan bayangan
Kerana karatnya tidak dibersihkan daripada parasnya
O Sahabat, dengarlah kisan ini: dalam Kebenaran
Terkandung sumsum kewujudan roh kita.
(Terjemahan Abdul Hadi W. M.)
Sajak di atas merujuk kepada tari dan muzik kerohanian Tarikat Maulawiyah yang diselenggarakan dalam upacara-upacara keagamaan.
Bibliografi
Afzal Iqbal. Life and Work of Rumi. Lahore: Institute of Islamic Culture, 1978.
Abdul Hadi W. M. Rumi, Sufi dan Penyair. Bandung: Pustaka, 1985.
A. J. Arberry. Classical Persian Literature. London: George Allen & Unwin Ltd., 1967.
Seyyed Hossein Nasr. “Jalal al-Din Rumi: Supreme Persian Poet and Sage”. Dalam
Islamic Art and Spirituality. Ipswich: Golgonoza Press, 1987.p.114-147.
Sumber : Jalaludin Rumi dan Puisi-Puisi Tasawuf
Satu Cahaya Kebenaran
Lampu-lampu itu berbeda, namun Cahaya itu sama: ia datang dari Atas.
Apabila engkau terus memandangi lampu, engkau akan bingung: karena akan muncul penampakan jumlah dan keragaman.
Tetapkanlah pandanganu pada Cahaya, dan engkau akan terlepas dari dualisme yang melekat pada tubuh yang terbatas.
Wahai engkau yang merupakan inti keberadaan, pertentangan diantara orang Muslim, Zoroaster dan Yahudi itu tergantung pada pendirian.
Beberapa orang India membawa seekor gajah, untuk mereka pertunjukan di kegelapan arena.
Karena melihatnya dengan mata tidak mungkin, maka setiap orang merabanya dengan telapak tangannya.
Tangan seseorang menyentuh belalainya: dia berkata, ”Binatang ini seperti pipa-air.”
Yang lain meraba telinganya: baginya makhluk ini tampak seperti sebuah kipas.
Yang lain memegang kakinya dan melukiskan gajah itu seperti bentuk sebuah pilar.
Yang lain mengusap punggungnya. ”Sesungguhnya,” katanya, ”gajah ini menyerupai sebuah singgasana.”
Setelah masing-masing memegang lilin, perbedaan pun hilang dari percakapan mereka.
Apabila engkau terus memandangi lampu, engkau akan bingung: karena akan muncul penampakan jumlah dan keragaman.
Tetapkanlah pandanganu pada Cahaya, dan engkau akan terlepas dari dualisme yang melekat pada tubuh yang terbatas.
Wahai engkau yang merupakan inti keberadaan, pertentangan diantara orang Muslim, Zoroaster dan Yahudi itu tergantung pada pendirian.
Beberapa orang India membawa seekor gajah, untuk mereka pertunjukan di kegelapan arena.
Karena melihatnya dengan mata tidak mungkin, maka setiap orang merabanya dengan telapak tangannya.
Tangan seseorang menyentuh belalainya: dia berkata, ”Binatang ini seperti pipa-air.”
Yang lain meraba telinganya: baginya makhluk ini tampak seperti sebuah kipas.
Yang lain memegang kakinya dan melukiskan gajah itu seperti bentuk sebuah pilar.
Yang lain mengusap punggungnya. ”Sesungguhnya,” katanya, ”gajah ini menyerupai sebuah singgasana.”
Setelah masing-masing memegang lilin, perbedaan pun hilang dari percakapan mereka.
Jalaluddin Rumi, Mas. III, 1259
No comments:
Post a Comment