AL-HALLAJ
Oleh: H. Ahmadi Isa
Nama
lengkapnya adalah Abu al-Mugis al-Husain bin Mansur bin Muhammad
al-Baidawi, dan lebih dikenal dengan nama al-Hallaj. Al-Hallaj
dilahirkan pada tahun 244 H./858 M di Tur, salah satu desa dekat Baida
di Persia. Neneknya, Muhammad adalah seorang penyembah api, pemeluk
agama Majusi sebelum dia masuk Islam. Ada yang mengatakan bahwa
al-Hallaj berasal dari keturunan Abu Ayyub, sahabat Rasulullah SAW.
Sejak
kecil al-Hallaj sudah banyak bergaul dengan para sufi terkenal. Pada
waktu dia berumur 16 tahun, dia pernah berguru kepada Sahl bin Abdullah
al-Tusturi, salah seorang tokoh sufi terkenal pada abad ketiga Hijriah.
Tetapi setelah dua tahun belajar kepadanya, dengan latihan-latihan
berat, dia pergi ke Basrah dan dari sini pergi ke Bagdad. Dia pernah
hidup dalam pertapaan dari tahun 873 M sampai tahun 879 M. Bersama-sama
dengan guru sufi al-Tusturi, 'Amr al-Makki dan Junaid al-Bagdadi.
Setelah
itu al-Hallaj pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain,
menambah pengetahuan dan pengalaman dalam ilmu tasawuf, sehingga tidak
ada seorang Syeikh ternama, katanya, yang tidak pernah dimintainya
nasihat dan tuntunannya. Dikatakan pula bahwa dia telah tiga kali
menunaikan ibadah haji.
Dalam
perjalanan dan pertemuannya dengan para sufi itu, timbullah pribadi dan
pandangan hidupnya sendiri sehingga dalam usia 53 tahun dia telah
menjadi pembicaraan ulama pada waktu itu karena paham tasawufnya yang
berbeda dengan para sufi yang lain.
Karena
pahamnya itu, seorang ulama fiqih terkemuka, Ibn Daud al-Isfahani
mengeluarkan fatwa yang mengatakan bahwa ajaran al-Hallaj adalah sesat.
Atas dasar fatwa ini al-Hallaj dipenjarakan. Tetapi setelah satu tahun
dia di dalam penjara, dia dapat melarikan diri dengan pertolongan
seorang penjaga penjara yang menaruh simpati kepadanya.
Dari
Bagdad dia melarikan diri ke Sus di wilayah Ahwas. Di sinilah dia
bersembunyi empat tahun lamanya. Namun, pada tahun 301 H./903 M. dia
ditangkap kembali dan dimasukkan lagi ke dalam penjara sampai delapan
tahun lamanya. Akhirnya pada tahun 309 H./921 M. diadakanlah persidangan
ulama di bawah kerajaan Bani Abbas di masa khalifah al-Muktadirbillah.
Pada tanggal 18 Zulkaidah 309 H, jatuhlah hukuman kepadanya. Dia dihukum
bunuh dengan mula-mula dipukul dan dicambuk dengan cemeti, lalu
disalib, sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya, dipenggal
lehernya dan ditinggalkan tergantung potongan-potongan tubuh itu di
pintu gerbang kota Bagdad. Kemudian dibakar, dan abunya dihanyutkan ke
sungai Dajlah.
Dalam
riwayat lain dikatakan, pada saat dia di gantung, dia dipecut seratus
kali tanpa mengaduh kesakitan. Sesudah dipecut, kepalanya dipenggal.
Tapi sebelum dipancung, dia shalat dua rakaat. Kemudian kaki dan
tangannya dipotong. Badannya digulung ke dalam tikar bambu, direndamkan
ke naftah dan kemudian dibakar. Abu mayatnya dihanyutkan ke sungai,
sedangkan kepalanya dibawa ke Khurasan untuk selanjutnya ditonton oleh
umat Islam.
Farid
al-Din al-Farizi menceritakan proses hukuman mati al-Hallaj ---
sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Gallab --- bahwa algojo-algojo
menaikkan al-Hallaj ke atas menara yang tinggi, kemudian dikerumuni oleh
orang banyak yang datang dari berbagai penjuru negeri, dan
diperintahkan kepada mereka untuk melempari dengan batu kepadanya.
Ketika itu dia selalu mengulang-ulang kalimat yang menyebabkan dia
dijebloskan ke hukuman mati itu, yaitu Ana al-Haqq (Aku adalah Yang Maha Benar). Dan ketika disuruh untuk membaca syahadat, dia berteriak seraya berseru kepada Allah: "Sesungguhnya wujud Allah itu telah jelas, tidak membutuhkan penguat semacam syahadat". Menurut Muhammad Gallab, kalimat tersebut merupakan pengulangan terhadap kalimat yang pernah diucapkan oleh al-Syibli.
Ketika
dipukul oleh para algojo, al-Hallaj tersenyum. Setelah selesai
memukulnya, mereka memotong tangan dan kakinya, dia pun menerimanya
dengan tersenyum; bahkan dia sempat mengoleskan darah potongan tangannya
ke mukanya seakan-akan dia berwudhu dengan darah suci itu. Setelah itu
para algojo memotong lidah dan mencungkil matanya. Pada saat itu dia
berisyarat, seakan-akan memintakan ampun bagi para algojo dan para
pembantunya, dengan permohonan kepada Allah SWT:
"Mereka
semua adalah hamba-Mu, mereka berkumpul untuk membunuhku karena fanatik
terhadap agama-Mu dan untuk mendekatkan diri kepada-Mu. Maka ampunilah
mereka. Andaikata Engkau singkapkan kepada mereka apa yang Engkau
singkapkan kepadaku, niscaya mereka tidak melakukan apa yang mereka
lakukan sekarang ini".
Tokoh
sufi al-Hallaj ini mendapat simpati dari pengikut-pengikutnya; dan
bahkan dia dikultuskan. Sebagian berpendapat, bahwa dia tidak mati
sewaktu disalib, tetapi diangkat ke langit seperti al-Masih. Sementara
yang lain mengatakan, bahwa dia dibangkitkan kembali setelah empat puluh
hari. Kemudian diceritakan bahwa pada tahun dibunuhnya al-Hallaj,
sungai Dajlah meluap sehingga mendorong pengikutnya untuk berpendapat
bahwa luapan air
tersebut adalah karena abunya yang dibuang ke sungai itu.
Diriwayatkan,
bahwa sebelum sampai ke puncak penyiksaan, seluruh tubuhnya
dicabik-cabik dengan cemeti. Darah keluar dengan deras dari tubuhnya
yang telah berusia 53 tahun; tapi tidak sepatah katapun keluar dari
mulutnya sebagai tanda kesakitan. Al-Hallaj dengan tabah dan sangat
sabar menerima siksaan itu. Salah seorang muridnya yang ada di
tengah-tengah kerumunan orang
banyak ketika itu tiba-tiba berteriak histeris, melihat wajahnya yang
telah memerah oleh percikan darah. Al-Hallaj menoleh kepada muridnya
itu, lalu berkata: "Bukan darah, tetapi bekas air wudhu".
Orang
makin bertambah banyak datang menyaksikan eksekusi itu, termasuk
al-Junaid al-Bagdadi yang meninggal tidak lama setelah al-Hallaj
dieksekusi. Dua orang muridnya yang kelihatan dalam kerumunan orang
banyak itu adalah Abu Bakar al-Syibli dan Abu Hasan al-Wasit. Setelah
al-Hallaj mendengar teriakan histeris Abu Bakar al-Sibli, lalu
dipandangnya muridnya itu dalam-dalam, kemudian berkata: "Apakah kamu membawa sajadah?"
Setelah Abu Bakar al-Syibli menjawab bahwa dia membawanya, al-Hallaj
meminta kepadanya untuk dihamparkan sajadah tersebut; lalu dia salat dua
rakaat. Pada rakaat pertama dibacanya surah al-Fatihah dan ayat yang
artinya: “Dan sungguh akan kami
berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan
harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar”. (Al-Baqarah :[2] : 155). Pada rakaat kedua, setelah membaca surah al-Fatihah, dibacanya ayat yang artinya: “Barangsiapa
mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi”. (Ali Imran : [3] : 85)
Al-Hallaj
adalah seorang yang alim dalam ilmu agama Islam. Sebagaimana dikatakan
oleh Ibn Suraij, dia adalah seorang yang hafal kitab suci Alquran dan
sarat dengan pemahamannya, menguasai ilmu fikih dan hadis, serta tidak
diragukan lagi keahliannya dalam ilmu tasawuf. Dia adalah seorang zahid
yang terkenal pada masanya ; dan banyak lagi sifat-sifat kesalehannya.
Keahlian dan kepribadiannya yang demikian itulah yang menjadikannya
mampu melahirkan karya-karya gemilang, terutama tentang tasawuf.
Tentang karya-karya al-Hallaj, menurut Ibn Nadim, tidak kurang dari 47 buah banyaknya. Sebagian daripadanya adalah:
1. Al-Ahruf al-Muhaddasah wa al-Azaliyah wa al-Asma' al-Kulliyyah.
2. Kitab Al-Usul wa al-Furu'
3. Kitab Sirr al-'Alam wa al-Mab'us
4. Kitab Al-'Adl wa al-Tauhid
5. Kitab 'Ilm al-Baqa' wa al-Fana'
6. Kitab Madh al-Nabi wa Masal al-A'la
7. Kitab Huwa-Huwa
8. Al-Tawasih
Kitabnya yang bernama Al-Tawasih
merupakan kitabnya yang paling jelas menggambarkan tentang paham
tasawufnya. Susunan bahasanya sangat sulit dipahami, sehingga --- kata
al-Taftazani --- mungkin banyak pembaca tidak mengerti apa yang
dimaksudkan penulisnya. Di samping itu, kitab tersebut berisi
rumus-rumus dan istilah-istilah yang tidak gampang dimengerti.
Riwayat
hidup al-Hallaj yang berakhir dengan peristiwa tragis, seperti
digambarkan di atas telah banyak mendapat perhatian ulama dan pengamat
tasawuf.
Inti sari ajaran tasawuf al-Hallaj --- yang kadang-kadang dinyatakan dalam bentuk syair dan kadang-kadang berupa nasr dengan kata-kata yang dalam ---, meliputi tiga persoalan pokok yaitu: (a) Hulul, (b) Haqiqah Muhammadiyah, dan (c) Wahdah al-Adyan.
Hulul
Para ulama maupun sarjana berbeda pendapat tentang hakikat ajaran hulul
al-Hallaj ini. Al-Taftazani telah berusaha menampilkan beberapa
pendapat tentang hal tersebut. Di dalam kesimpulannya, dia mengatakan
bahwa hululnya al-Hallaj itu bersifat majazi,
tidak dalam pengertian yang sesungguhnya. Sebagaimana telah disebutkan
di atas, 'Irfan Abd al-Hamid Fattah berpendapat bahwa paham "kesatuan
wujud" telah mulai nampak sejak hadir Abu Yazid al-Bustami dengan paham ittihadnya. Dan paham hulul
al-Hallaj ini, menurut al-Taftazani merupakan perkembangan dan bentuk
lain dari paham ittihad yang diajarkan oleh Abu Yazid al-Bustami itu.
Jika dilihat lebih jauh, sebenarnya antara ittihad dan hulul terdapat perbedaan. Dalam ittihad, diri Abu Yazid al-Bustami hancur, dan yang ada hanya diri Allah; sedangkan dalam hulul, diri al-Hallaj tidak hancur. Juga, dalam paham ittihad, yang dilihat hanya satu wujud; sedang dalam paham hulul, ada dua wujud, tetapi bersatu dalam satu tubuh.
Menurut al-Hallaj, Allah mempunyai dua sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Demikian pula manusia, di samping mempunyai sifat kemanusiaan (nasut), juga memiliki sifat ketuhanan (lahut)
dalam dirinya. Paham al-Hallaj ini dapat pula dilihat dari tafsirannya
mengenai kejadian Adam (Al-Baqarah, [2], ayat 34) yang artinya: “Dan
(ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: Sujudlah kamu
kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur;
dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”. (Al-Baqarah : [2] : 34)
Menurut
al-Hallaj, Allah memberikan perintah kepada malaikat untuk sujud kepada
Adam karena pada diri Adam, Allah menjelma sebagaimana Dia menjelma (hulul)
dalam diri 'Isa AS. Paham bahwa Allah menjelma dalam diri Adam, berarti
pula Allah menjadikan Adam sesuai dengan bentuk-Nya. Dengan kata lain,
Adam itu adalah copy dari diri Tuhan. Paham ini berpangkal dari sebuah hadis yang berpengaruh sangat besar bagi kaum sufi: "Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya".
Paham al-Hallaj ini lebih jelas kelihatan dalam gubahan syairnya :
Maha Suci Zat yang menyatakan nasut-Nya
dengan lahut-Nya, yang cermerlang seiring bersama
lalu dalam makhluk-Nya pun tampak nyata
bagai si peminum dan si pemakan tampak sosok-Nya
hingga semua makhluknya melihat-Nya
bagaikan bertemunya dua kelopak mata.
Dengan
demikian, menurut paham tasawuf al-Hallaj, dalam diri manusia terdapat
sifat keTuhanan, dan dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan. Karena
itu persatuan antara Tuhan dengan manusia bisa terjadi; dan persatuan
itu mengambil bentuk hulul.
Agar manusia dapat bersatu itu, ia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusian melalui fana'.
Kalau sifat-sifat kemanusiaan itu telah hilang dan yang tinggal hanya
sifat keTuhanan dalam dirinya, di situlah baru Tuhan dapat mengambil
tempat (hulul) dalam dirinya dan ketika itu roh Tuhan dan roh
manusia bersatu dalam tubuh manusia. Dalam sebuah gubahan syair
al-Hallaj mengungkapkan:
Padu sudah roh-Mu dengan rohku jadi satu
Bagai khamar dan air bening terpadu satu
Dan jika sesuatu menyentuh-Mu, tersentuhlah aku
Karena itu Kau, dalam segala hal, adalah aku.
Nada-nada serupa juga dapat dilihat pada lirik syairnya sebagai berikut:
Aku yang kucinta
Dan yang kucinta aku pula
Kami dua jiwa padu jadi satu
Dan jika kau lihat aku
Tampak pula Dia dalam pandanganmu
Dan jika kau lihat Dia
Kami, dalam pandanganmu tampak nyata.
Lebih jelas lagi dapat dilihat dari bait-bait syairnya di bawah ini:
Kau antara kalbu dan denyutku, berlaku
bagaikan airmata menetes dari kelopakku
Bisik-Mu pun tinggal dalam relung kalbuku
bagaikan roh yang hulul dalam tubuh jadi satu.
Dari ungkapan-ungkapan yang tertuang dalam gubahan syair di atas tampak jelas bahwa al-Hallaj membawa konsep hulul. Yang dimaksud dengan hulul
di situ, ialah penyatuan sifat keTuhanan dengan sifat kemanusiaan. Atau
dengan kata lain, sesuai dengan terminologi yang dipergunakannya, hululnya lahut dalam nasut. Juga, menurut al-Hallaj, pada hulul terkandung kefana'an total kehendak manusia dalam kehendak Ilahi, sehingga setiap tindakan manusia berasal dari Allah. Manusia, menurutnya, "sebagaimana dia tidak memiliki asal tindakannya, begitu juga dia tidak memiliki tindakannya".
Dengan cara inilah, menurut al-Hallaj seorang sufi bisa bersatu dengan Tuhan. Jadi ketika al-Hallaj berkata: ana al-Haqq (Aku
adalah Tuhan) bukanlah roh al-Hallaj mengucapkan kata itu, tetapi roh
Tuhan yang mengambil tempat dalam dirinya. Dengan kata lain, bahwa
al-Hallaj sebenarnya tidak mengaku dirinya Tuhan. Hal ini pernah pula
dia tegaskan: "Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku, Aku hanya dari yang benar, maka bedakanlah antara kami".
Dalam kesempatan lain, penegasannya terhadap adanya perpaduan, al-Hallaj berkata: "Burang
siapa mengira bahwa lahut (keTuhanan) berpadu jadi satu dengan nasut
(kemanusiaan), ataupun nasut berpadu dengan lahut, maka kafirlah dia.
Sebab, Allah SWT mandiri dalam Zat maupun sifat-Nya, berbeda dari zat
dan sifat makhluk. Dan dia sama sekali tidak menyerupai
makhluk-makhluk-Nya; dan merekapun sama sekali tidak menyerupai-Nya".
Dan katanya pula: "....Seperti halnya nasutku (kemanusiaanku)
lebur dalam lahut-Mu (ketuhanan-Mu), tanpa berpadu dengan-Nya; lahut-Mu
menguasai nasutku, tanpa berpadu dengannya".
Dari ungkapan-ungkapan di atas, ternyata paham hulul ini begitu kontradiktif. Terkadang hulul
dinyatakan dalam bentuk penyatuan, namun di pihak lain dia negasikan
(meniadakan) penyatuan, dan secara tegas dia meniadakan segala macam
bentuk atau unsur anthropomorphisme.
Thoulk seorang pemerhati al-Hallaj menginterpretasikan bahwa dia ketika menyatakan penyatuan berada dalam keadaan fana'. Atau bisa juga dikatakan sebagai cara al-Hallaj untuk menghadapi para fuqaha
(ahli fikih) pada masa itu. Atau juga, seperti telah disebutkan di
atas, diduga kuat bahwa hulul, menurut al-Hallaj, berciri figuratif dan
bukannya riil.
Hakikat Muhammad
Haqiqah Muhammadiyah
(hakikat Muhammad), atau Nur Muhammad, menurut al-Hallaj, merupakan
asal atau sumber dari segala sesuatu, segala kejadian, amal perbuatan
dan ilmu pengetahuan. Dan dengan perantaraan-Nyalah alam ini dijadikan.
Al-Hallaj lah yang mula-mula sekali menyatakan bahwa kejadian alam ini
pada mulanya adalah dari Haqiqah Muhammadiyah atau Nur Muhammad. Di dalam kitabnya al-Tawasin,
al-Hallaj menulis: Ta Sin. Sinar cahaya gaib pun tampak dan kembali.
Sinar itupun melintasi dan mendominasi segala sesuatu. Sebuah bulan
bersinar cemerlang di antara berbagai bulan, zodiaknya ada dalam bintang
rahasia. Yang Maha Benar memberinya nama "Ummi" untuk menghimpun
citanya, "murni" karena nikmatnya kepadanya dan "makki" karena
ketetapannya pada kedekatannya.
Kemudian,
katanya lagi: Cahaya-cahaya kenabian memancar dari cahayanya.
Cahaya-cahaya mereka pun terbit dari cahayanya. Dalam cahaya-cahaya itu
tidak ada satupun cahaya yang lebih cemerlang, gemerlap dan terdahulu
dan terdahulu dari cahaya pemegang kemuliaan (Muhammad SAW).
Cita-citanya lebih terdahulu ketimbang ketiadaan. Dan namanya lebih
terdahulu ketimbang qalam, sebab ia telah ada sebelum makhluk-makhluk lain.
Pendeknya, Nur Muhammad itulah pusat kesatuan alam dan pusat kesatuan nubuwwat (kenabian) segala nabi. Dan nabi-nabi itu, nubuwwatnya, ataupun dirinya hanyalah sebagian daripada cahaya Nur Muhammad itu. Segala macam ilmu, hikmat dan nubuwwat adalah pancaran belaka dari sinarnya.
Menurut al-Hallaj, kejadian Nabi Muhammad SAW terbentuk dari dua rupa. Pertama, rupanya yang qadim dan azali,
yaitu dia telah terjadi sebelum terjadinya segala yang ada ini. Kedua
ialah rupanya sebagai manusia, sebagai seoran Rasul dan Nabi yang diutus
Tuhan. Rupanya sebagai manusia akan mengalami maut, tetapi rupanya yang
qadim akan tetap ada meliputi alam.
Paham tentang Nur Muhammad ini berpangkal dari hadis yang sangat populer di kalangan ahli sufi, yaitu: "Aku berasal dari cahaya Tuhan, dan seluruh dunia berasal dari cahayaku".
Dan paham ini kemudian dikembangkan dan disebarluaskan oleh Muhyiddin
Ibnu 'Arabi (w.636 H.) dan 'Abd al-Karim bin Ibrahim al-Jili (w.811 H.)
dalam ajaran tasawufnya tentang Insan al Kamil (Manusia Sempurna).
Dalam
teori kejadian alam dari Nur Muhammad ini nampak adanya pengaruh ajaran
filsafat. Kalau dalam filsafat Islam, teori terjadinya alam semesta
diperkenalkan oleh al-Farabi dengan mentransfer teori emanasi Neo
Platonesme Plotinus, maka dalam tasawuf, teori ini mula-mula
diperkenalkan oleh al-Hallaj dengan konsep barunya yang ia sebut dengan
Nur Muhammad atau haqiqah Muhammadiyah sebagai sumber dari segala yang maujud (ada).
Wahdah al-Adyan (Kasatuan Agama-Agama)
Semua
agama yang ada ini pada hakikatnya adalah satu, karena semuanya
mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengakui dan menyembah Allah, Tuhan
semesta alam, Tuhan semua agama. Nama agama berbagai macam, ada Islam,
Kristen, Yahudi dan lain-lain, semuanya hanyalah perbedaan nama, namun
hakikatnya sama saja.
Semua
agama adalah agama Allah, maksudnya ialah menuju kepada Allah. Orang
memilih suatu agama, atau lahir dalam suatu agama bukanlah atas
kehendaknya, tetapi dikehendaki untuknya. Tidak ada faedahnya seseorang
mencela orang yang berlainan agama dengan dia, karena, itu adalah takdir
(ketentuan) Tuhan buat orang itu.
Paham Wahdah al-Adyan
(kesatuan agama-agama) ini muncul sebagai konsekuensi logis dari
pahamnya tentang Nur Muhammad. Yakni, pendapat al-Hallaj tentang qadimnya
Nur Muhammad telah mendorongnya berkesimpulan tentang kesatuan semua
agama, karena dalam kasus tersebut, sumber semua agama adalah satu.
Menurut al-Hallaj, agama-agama itu diberikan kepada manusia bukan atas
pilihannya sendiri, tetapi dipilihkan untuknya.
Tentang
hal ini, 'Abdullah bin Tahir al-Azdi mengatakan, sebagaimana
diungkapkan oleh al-Taftazani, sebagai berikut: Suatu hari aku
bertengkar dengan seorang Yahudi di pasar Bagdad. Diapun kumaki: hai
anjing. Ketika itu al-Husain bin Mansur (al-Hallaj) lewat dan
memandangku dengan wajah geram. Dan ditegurnya: jangan kau maki
anjingmu! Dan diapun langsung pergi. setelah pertengkaran itu, akupun
mencari al-Hallaj. Namun ketika kutemui, dia memalingkan wajahnya.
Akupun meminta maaf kepadanya. Kemudian katanya: Wahai sahabatku, semua
agama adalah milik Allah. Setiap golongan menganut suatu agama tanpa
adanya pilihan, bahkan dipilihkan bagi mereka. Karena itu barangsiapa
menyalahkan apa yang dianut golongan itu sama dengan dia telah
menghukumi golongan tersebut menganut agama atas upayanya sendiri.
Pandangan seperti ini adalah pandangan aliran Qadariyah ; aliran
Qadariyah adalah kaum Majusi (penganut ajaran Zoroaster). Ketahuilah!
Agama-agama Yahudi, Islam, dan lain-lain adalah sebutan serta nama yang
beraneka macam dan berbeda. Akan tetapi tujuan semua agama itu tidak
berbeda.
Dengan
demikian, dapat dikatakan, sekiranya Nur Muhammad merupakan asal segala
sesuatu, termasuk adanya hidayah dan agama, juga semua para nabi, sejak
Nabi Adam hingga Nabi Isa AS, maka semua agama yang ada kembali kepada
pokok (sumber) yang sama, yakni pancaran dari suatu cahaya (nur).
Perbedaan yang ada dalam agama-agama itu hanyalah sekedar bentuk dan
sifatnya, sedangkan hakikat dan tujuannya adalah sama, yaitu sama-sama
untuk menyembah Allah. Hal ini berarti tidak ada perbedaan antara
monotheisme (paham satu Tuhan) dengan politheisme (paham banyak Tuhan),
atau antara iman dan kufur. Dalam hubungan ini al-Hallaj menjelaskan,
sebaimana dikutip oleh 'Abd al-Hakim Hassan : "Antara kufur dan iman hanya berbeda dari segi namanya saja, sedang dari segi hakikatnya tidak ada perbedaan antara keduanya".
Banyak
di antara para ulama tidak bisa menerima ajaran tasawuf yang diajarkan
oleh al-Hallaj ini, Tetapi tidak sedikit pula ulama yang sependapat dan
membelanya. Pembela-pembela al-Hallaj menjernihkan ajarannya dari apa
yang dituduhkan orang kepadanya.
Menurut
Nicholson, yang mereka gunakan adalah : (1) Al-Hallaj tidak melakukan
dosa terhadap kebenaran, tetapi dia dihukum karena tindakannya yang
dipandang bertentangan dengan hukum. Dia membuka rahasia-rahasia tentang
Tuhan dengan mengetengahkan segala yang dianggap sebagai misteri
tertinggi, yang selayaknya hanya boleh diketahui oleh orang-orang
tertentu saja. (2) Al-Hallaj berbicara di bawah pengaruh ketidak sadaran
dari akstasi. Dia merasa dirinya telah bersatu dengan inti Ilahi, yang
dalam kenyataannya dia hanya bersatu dengan salah satu sifat Ilahi, dan
(3) Al-Hallaj mengatakan bahwa tidak ada pemisahan antara Tuhan dengan
makhluk-Nya sebagaimana dengan kesatuan Ilahi yang melingkupi
makhluk-Nya. Yang berbicara : Ana al-Haqq, bukanlah al-Hallaj pribadi, namun, Tuhan sendiri melalui lisan al-Hallaj.
No comments:
Post a Comment