Sunday, 16 June 2013

e book Dialog Dengan Jin Muslim

 

link utk download;-


link utk download;-
http://www.mediafire.com/download/7xg7yi1f4sm2enk/Rahsia+simbol+yahudi.pdf


password protect;-
hantuwritter

Ebook Syekh Siti Jenar- Makrifat dan makna kehidupan

 






link utk download;-
http://www.4shared.com/document/Homp8EIP/056_Syekh_Siti_Jenar-_Makrifat.html

  ebook The Choice Islam & Christianity



link utk download;-
 sini




Saturday, 8 June 2013

AL-HALLAJ


AL-HALLAJ
Oleh: H. Ahmadi Isa

            Nama lengkapnya adalah Abu al-Mugis al-Husain bin Mansur bin Muhammad al-Baidawi, dan lebih dikenal dengan nama al-Hallaj. Al-Hallaj dilahirkan pada tahun 244 H./858 M di Tur, salah satu desa dekat Baida di Persia. Neneknya, Muhammad adalah seorang penyembah api, pemeluk agama Majusi sebelum dia masuk Islam. Ada yang mengatakan bahwa al-Hallaj berasal dari keturunan Abu Ayyub, sahabat Rasulullah SAW.
          Sejak kecil al-Hallaj sudah banyak bergaul dengan para sufi terkenal. Pada waktu dia berumur 16 tahun, dia pernah berguru kepada Sahl bin Abdullah al-Tusturi, salah seorang tokoh sufi terkenal pada abad ketiga Hijriah. Tetapi setelah dua tahun belajar kepadanya, dengan latihan-latihan berat, dia pergi ke Basrah dan dari sini pergi ke Bagdad. Dia pernah hidup dalam pertapaan dari tahun 873 M sampai tahun 879 M. Bersama-sama dengan guru sufi al-Tusturi, 'Amr al-Makki dan Junaid al-Bagdadi.
          Setelah itu al-Hallaj pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain, menambah pengetahuan dan pengalaman dalam ilmu tasawuf, sehingga tidak ada seorang Syeikh ternama, katanya, yang tidak pernah dimintainya nasihat dan tuntunannya. Dikatakan pula bahwa dia telah tiga kali menunaikan ibadah haji.
          Dalam perjalanan dan pertemuannya dengan para sufi itu, timbullah pribadi dan pandangan hidupnya sendiri sehingga dalam usia 53 tahun dia telah menjadi pembicaraan ulama pada waktu itu karena paham tasawufnya yang berbeda dengan para sufi yang lain.
          Karena pahamnya itu, seorang ulama fiqih terkemuka, Ibn Daud al-Isfahani mengeluarkan fatwa yang mengatakan bahwa ajaran al-Hallaj adalah sesat. Atas dasar fatwa ini al-Hallaj dipenjarakan. Tetapi setelah satu tahun dia di dalam penjara, dia dapat melarikan diri dengan pertolongan seorang penjaga penjara yang menaruh simpati kepadanya.
          Dari Bagdad dia melarikan diri ke Sus di wilayah Ahwas. Di sinilah dia bersembunyi empat tahun lamanya. Namun, pada tahun 301 H./903 M.  dia ditangkap kembali dan dimasukkan lagi ke dalam penjara sampai delapan tahun lamanya. Akhirnya pada tahun 309 H./921 M. diadakanlah persidangan ulama di bawah kerajaan Bani Abbas di masa khalifah al-Muktadirbillah. Pada tanggal 18 Zulkaidah 309 H, jatuhlah hukuman kepadanya. Dia dihukum bunuh dengan mula-mula dipukul dan dicambuk dengan cemeti, lalu disalib, sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya, dipenggal lehernya dan ditinggalkan tergantung potongan-potongan tubuh itu di pintu gerbang kota Bagdad. Kemudian dibakar, dan abunya dihanyutkan ke sungai Dajlah.
          Dalam riwayat lain dikatakan, pada saat dia di gantung, dia dipecut seratus kali tanpa mengaduh kesakitan. Sesudah dipecut, kepalanya dipenggal. Tapi sebelum dipancung, dia shalat dua rakaat. Kemudian kaki dan tangannya dipotong. Badannya digulung ke dalam tikar bambu, direndamkan ke naftah dan kemudian dibakar. Abu mayatnya dihanyutkan ke sungai, sedangkan kepalanya dibawa ke Khurasan untuk selanjutnya ditonton oleh umat Islam.
          Farid al-Din al-Farizi menceritakan proses hukuman mati al-Hallaj --- sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Gallab --- bahwa algojo-algojo menaikkan al-Hallaj ke atas menara yang tinggi, kemudian dikerumuni oleh orang banyak yang datang dari berbagai penjuru negeri, dan diperintahkan kepada mereka untuk melempari dengan batu kepadanya. Ketika itu dia selalu mengulang-ulang kalimat yang menyebabkan dia dijebloskan ke hukuman mati itu, yaitu Ana al-Haqq (Aku adalah Yang Maha Benar). Dan ketika disuruh untuk membaca syahadat, dia berteriak seraya berseru kepada Allah: "Sesungguhnya wujud Allah itu telah jelas, tidak membutuhkan penguat semacam syahadat". Menurut Muhammad Gallab, kalimat tersebut merupakan pengulangan terhadap kalimat yang pernah diucapkan oleh al-Syibli.
          Ketika dipukul oleh para algojo, al-Hallaj tersenyum. Setelah selesai memukulnya, mereka memotong tangan dan kakinya, dia pun menerimanya dengan tersenyum; bahkan dia sempat mengoleskan darah potongan tangannya ke mukanya seakan-akan dia berwudhu dengan darah suci itu. Setelah itu para algojo memotong lidah dan mencungkil matanya. Pada saat itu dia berisyarat, seakan-akan memintakan ampun bagi para algojo dan para pembantunya, dengan permohonan kepada Allah SWT:
"Mereka semua adalah hamba-Mu, mereka berkumpul untuk membunuhku karena fanatik terhadap agama-Mu dan untuk mendekatkan diri kepada-Mu. Maka ampunilah mereka. Andaikata Engkau singkapkan kepada mereka apa yang Engkau singkapkan kepadaku, niscaya mereka tidak melakukan apa yang mereka lakukan sekarang ini".
          Tokoh sufi al-Hallaj ini mendapat simpati dari pengikut-pengikutnya; dan bahkan dia dikultuskan. Sebagian berpendapat, bahwa dia tidak mati sewaktu disalib, tetapi diangkat ke langit seperti al-Masih. Sementara yang lain mengatakan, bahwa dia dibangkitkan kembali setelah empat puluh hari. Kemudian diceritakan bahwa pada tahun dibunuhnya al-Hallaj, sungai Dajlah meluap sehingga mendorong pengikutnya untuk berpendapat bahwa luapan air
tersebut adalah karena abunya yang dibuang ke sungai itu.
          Diriwayatkan, bahwa sebelum sampai ke puncak penyiksaan, seluruh tubuhnya dicabik-cabik dengan cemeti. Darah keluar dengan deras dari tubuhnya yang telah berusia 53 tahun; tapi tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya sebagai tanda kesakitan. Al-Hallaj dengan tabah dan sangat sabar menerima siksaan itu. Salah seorang muridnya yang ada di tengah-tengah  kerumunan orang banyak ketika itu tiba-tiba berteriak histeris, melihat wajahnya yang telah memerah oleh percikan darah. Al-Hallaj menoleh kepada muridnya itu, lalu berkata: "Bukan darah, tetapi bekas air wudhu".
          Orang makin bertambah banyak datang menyaksikan eksekusi itu, termasuk al-Junaid al-Bagdadi yang meninggal tidak lama setelah al-Hallaj dieksekusi. Dua orang muridnya yang kelihatan dalam kerumunan orang banyak itu adalah Abu Bakar al-Syibli dan Abu Hasan al-Wasit. Setelah al-Hallaj mendengar teriakan histeris Abu Bakar al-Sibli, lalu dipandangnya muridnya itu dalam-dalam, kemudian berkata: "Apakah kamu membawa sajadah?" Setelah Abu Bakar al-Syibli menjawab bahwa dia membawanya, al-Hallaj meminta kepadanya untuk dihamparkan sajadah tersebut; lalu dia salat dua rakaat. Pada rakaat pertama dibacanya surah al-Fatihah dan ayat yang artinya: “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”. (Al-Baqarah :[2] : 155). Pada rakaat kedua, setelah membaca surah al-Fatihah, dibacanya ayat yang artinya: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Ali Imran : [3] : 85)
          Al-Hallaj adalah seorang yang alim dalam ilmu agama Islam. Sebagaimana dikatakan oleh Ibn Suraij, dia adalah seorang yang hafal kitab suci Alquran dan sarat dengan pemahamannya, menguasai ilmu fikih dan hadis, serta tidak diragukan lagi keahliannya dalam ilmu tasawuf. Dia adalah seorang zahid yang terkenal pada masanya ; dan banyak lagi sifat-sifat kesalehannya. Keahlian dan kepribadiannya yang demikian itulah yang menjadikannya mampu melahirkan karya-karya gemilang, terutama tentang tasawuf.
          Tentang karya-karya al-Hallaj, menurut Ibn Nadim, tidak kurang dari 47 buah banyaknya. Sebagian daripadanya adalah:
1. Al-Ahruf al-Muhaddasah wa al-Azaliyah wa al-Asma' al-Kulliyyah.
2. Kitab Al-Usul wa al-Furu'
3. Kitab Sirr al-'Alam wa al-Mab'us
4. Kitab Al-'Adl wa al-Tauhid
5. Kitab 'Ilm al-Baqa' wa al-Fana'
6. Kitab Madh al-Nabi wa Masal al-A'la
7. Kitab Huwa-Huwa
8. Al-Tawasih
          Kitabnya yang bernama Al-Tawasih merupakan kitabnya yang paling jelas menggambarkan tentang paham tasawufnya. Susunan bahasanya sangat sulit dipahami, sehingga --- kata al-Taftazani --- mungkin banyak pembaca tidak mengerti apa yang dimaksudkan penulisnya. Di samping itu, kitab tersebut berisi rumus-rumus dan istilah-istilah yang tidak gampang dimengerti.
          Riwayat hidup al-Hallaj yang berakhir dengan peristiwa tragis, seperti digambarkan di atas telah banyak mendapat perhatian ulama dan pengamat tasawuf.
          Inti sari ajaran tasawuf al-Hallaj --- yang kadang-kadang dinyatakan dalam bentuk syair dan kadang-kadang berupa nasr dengan kata-kata yang dalam ---, meliputi tiga persoalan pokok yaitu: (a) Hulul, (b) Haqiqah Muhammadiyah, dan (c) Wahdah al-Adyan.

Hulul
          Para ulama maupun sarjana berbeda pendapat tentang hakikat ajaran hulul al-Hallaj ini. Al-Taftazani telah berusaha menampilkan beberapa pendapat tentang hal tersebut. Di dalam kesimpulannya, dia mengatakan bahwa hululnya al-Hallaj itu bersifat majazi, tidak dalam pengertian yang sesungguhnya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, 'Irfan Abd al-Hamid Fattah berpendapat bahwa paham "kesatuan wujud" telah mulai nampak sejak hadir Abu Yazid al-Bustami dengan paham ittihadnya. Dan paham hulul al-Hallaj ini, menurut al-Taftazani merupakan perkembangan dan bentuk lain dari paham ittihad yang diajarkan oleh Abu Yazid al-Bustami itu. Jika dilihat lebih jauh, sebenarnya antara ittihad dan hulul terdapat perbedaan. Dalam ittihad, diri Abu Yazid al-Bustami hancur, dan yang ada hanya diri Allah; sedangkan dalam hulul, diri al-Hallaj tidak hancur. Juga, dalam paham ittihad, yang dilihat hanya satu wujud; sedang dalam paham hulul, ada dua wujud, tetapi bersatu dalam satu tubuh.
          Menurut al-Hallaj, Allah mempunyai dua sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Demikian pula manusia, di samping mempunyai sifat kemanusiaan (nasut), juga memiliki sifat ketuhanan (lahut) dalam dirinya. Paham al-Hallaj ini dapat pula dilihat dari tafsirannya mengenai kejadian Adam (Al-Baqarah, [2], ayat 34) yang artinya: “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur; dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”. (Al-Baqarah : [2] : 34)
          Menurut al-Hallaj, Allah memberikan perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam karena pada diri Adam, Allah menjelma sebagaimana Dia menjelma (hulul) dalam diri 'Isa AS. Paham bahwa Allah menjelma dalam diri Adam, berarti pula Allah menjadikan Adam sesuai dengan bentuk-Nya. Dengan kata lain, Adam itu adalah copy dari diri Tuhan.  Paham ini berpangkal dari sebuah hadis yang berpengaruh sangat besar bagi kaum sufi: "Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya".
          Paham al-Hallaj ini lebih jelas kelihatan dalam gubahan syairnya :
          Maha Suci Zat yang menyatakan nasut-Nya
          dengan lahut-Nya, yang cermerlang seiring bersama
          lalu dalam makhluk-Nya pun tampak nyata
          bagai si peminum dan si pemakan tampak sosok-Nya
          hingga semua makhluknya melihat-Nya
          bagaikan bertemunya dua kelopak mata.

          Dengan demikian, menurut paham tasawuf al-Hallaj, dalam diri manusia terdapat sifat keTuhanan, dan dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan. Karena itu persatuan antara Tuhan dengan manusia bisa terjadi; dan persatuan itu mengambil bentuk hulul.
          Agar manusia dapat bersatu itu, ia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusian melalui fana'. Kalau sifat-sifat kemanusiaan itu telah hilang dan yang tinggal hanya sifat keTuhanan dalam dirinya, di situlah baru Tuhan dapat mengambil tempat (hulul) dalam dirinya dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia. Dalam sebuah gubahan syair al-Hallaj mengungkapkan:
          Padu sudah roh-Mu dengan rohku jadi satu
          Bagai khamar dan air bening terpadu satu
          Dan jika sesuatu menyentuh-Mu, tersentuhlah aku
          Karena itu Kau, dalam segala hal, adalah aku.

          Nada-nada serupa juga dapat dilihat pada lirik syairnya sebagai berikut:
          Aku yang kucinta
          Dan yang kucinta aku pula
          Kami dua jiwa padu jadi satu
          Dan jika kau lihat aku
          Tampak pula Dia dalam pandanganmu
          Dan jika kau lihat Dia
          Kami, dalam pandanganmu tampak nyata.

          Lebih jelas lagi dapat dilihat dari bait-bait syairnya di bawah ini:
          Kau antara kalbu dan denyutku, berlaku
          bagaikan airmata menetes dari kelopakku
          Bisik-Mu pun tinggal dalam relung kalbuku
bagaikan roh yang hulul dalam tubuh jadi satu.

          Dari ungkapan-ungkapan yang tertuang dalam gubahan syair di atas tampak jelas bahwa al-Hallaj membawa konsep hulul. Yang dimaksud dengan hulul di situ, ialah penyatuan sifat keTuhanan dengan sifat kemanusiaan. Atau dengan kata lain, sesuai dengan terminologi yang dipergunakannya, hululnya lahut dalam nasut. Juga, menurut al-Hallaj, pada hulul terkandung kefana'an total kehendak manusia dalam kehendak Ilahi, sehingga setiap tindakan manusia berasal dari Allah. Manusia, menurutnya, "sebagaimana dia tidak memiliki asal tindakannya, begitu juga dia tidak memiliki tindakannya".
          Dengan cara inilah, menurut al-Hallaj seorang sufi bisa bersatu dengan Tuhan. Jadi ketika al-Hallaj berkata: ana al-Haqq (Aku adalah Tuhan) bukanlah roh al-Hallaj mengucapkan kata itu, tetapi roh Tuhan yang mengambil tempat dalam dirinya. Dengan kata lain, bahwa al-Hallaj sebenarnya tidak mengaku dirinya Tuhan. Hal ini pernah pula dia tegaskan: "Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku, Aku hanya dari yang benar, maka bedakanlah antara kami".
          Dalam kesempatan lain, penegasannya terhadap adanya perpaduan, al-Hallaj berkata: "Burang siapa mengira bahwa lahut (keTuhanan) berpadu jadi satu dengan nasut (kemanusiaan), ataupun nasut berpadu dengan lahut, maka kafirlah dia. Sebab, Allah SWT mandiri dalam Zat maupun sifat-Nya, berbeda dari zat dan sifat makhluk. Dan dia sama sekali tidak menyerupai makhluk-makhluk-Nya; dan merekapun sama sekali tidak menyerupai-Nya". Dan katanya pula: "....Seperti halnya nasutku (kemanusiaanku) lebur dalam lahut-Mu (ketuhanan-Mu), tanpa berpadu dengan-Nya; lahut-Mu menguasai nasutku, tanpa berpadu dengannya".
          Dari ungkapan-ungkapan di atas, ternyata paham hulul ini begitu kontradiktif. Terkadang hulul dinyatakan dalam bentuk penyatuan, namun di pihak lain dia negasikan (meniadakan) penyatuan, dan secara tegas dia meniadakan segala macam bentuk atau unsur anthropomorphisme.
          Thoulk seorang pemerhati al-Hallaj menginterpretasikan bahwa dia ketika menyatakan penyatuan berada dalam keadaan fana'. Atau bisa juga dikatakan sebagai cara al-Hallaj untuk menghadapi para fuqaha (ahli fikih) pada masa itu. Atau juga, seperti telah disebutkan di atas, diduga kuat bahwa hulul, menurut al-Hallaj, berciri figuratif dan bukannya riil.

Hakikat Muhammad
          Haqiqah Muhammadiyah (hakikat Muhammad), atau Nur Muhammad, menurut al-Hallaj, merupakan asal atau sumber dari segala sesuatu, segala kejadian, amal perbuatan dan ilmu pengetahuan. Dan dengan perantaraan-Nyalah alam ini dijadikan. Al-Hallaj lah yang mula-mula sekali menyatakan bahwa kejadian alam ini pada mulanya adalah dari Haqiqah Muhammadiyah atau Nur Muhammad. Di dalam kitabnya al-Tawasin, al-Hallaj menulis: Ta Sin. Sinar cahaya gaib pun tampak dan kembali. Sinar itupun melintasi dan mendominasi segala sesuatu. Sebuah bulan bersinar cemerlang di antara berbagai bulan, zodiaknya ada dalam bintang rahasia. Yang Maha Benar memberinya nama "Ummi" untuk menghimpun citanya, "murni" karena nikmatnya kepadanya dan "makki" karena ketetapannya pada kedekatannya.
          Kemudian, katanya lagi: Cahaya-cahaya kenabian memancar dari cahayanya. Cahaya-cahaya mereka pun terbit dari cahayanya. Dalam cahaya-cahaya itu tidak ada satupun cahaya yang lebih cemerlang, gemerlap dan terdahulu dan terdahulu dari cahaya pemegang kemuliaan (Muhammad SAW). Cita-citanya lebih terdahulu ketimbang ketiadaan. Dan namanya lebih terdahulu ketimbang qalam, sebab ia telah ada sebelum makhluk-makhluk lain.
          Pendeknya, Nur Muhammad itulah pusat kesatuan alam dan pusat kesatuan nubuwwat (kenabian) segala nabi. Dan nabi-nabi itu, nubuwwatnya, ataupun dirinya hanyalah sebagian daripada cahaya Nur Muhammad itu. Segala macam ilmu, hikmat dan nubuwwat adalah pancaran belaka dari sinarnya.
          Menurut al-Hallaj, kejadian Nabi Muhammad SAW terbentuk dari dua rupa. Pertama, rupanya yang qadim dan azali, yaitu dia telah terjadi sebelum terjadinya segala yang ada ini. Kedua ialah rupanya sebagai manusia, sebagai seoran Rasul dan Nabi yang diutus Tuhan. Rupanya sebagai manusia akan mengalami maut, tetapi rupanya yang qadim akan tetap ada meliputi alam.
Paham tentang Nur Muhammad ini berpangkal dari hadis yang sangat populer di kalangan ahli sufi, yaitu: "Aku berasal dari cahaya Tuhan, dan seluruh dunia berasal dari cahayaku". Dan paham ini kemudian dikembangkan dan disebarluaskan oleh Muhyiddin Ibnu 'Arabi (w.636 H.) dan 'Abd al-Karim bin Ibrahim al-Jili (w.811 H.) dalam ajaran tasawufnya tentang Insan al Kamil (Manusia Sempurna).
          Dalam teori kejadian alam dari Nur Muhammad ini nampak adanya pengaruh ajaran filsafat. Kalau dalam filsafat Islam, teori terjadinya alam semesta diperkenalkan oleh al-Farabi dengan mentransfer teori emanasi Neo Platonesme Plotinus, maka dalam tasawuf, teori ini mula-mula diperkenalkan oleh al-Hallaj dengan konsep barunya yang ia sebut dengan Nur Muhammad atau haqiqah Muhammadiyah sebagai sumber dari segala yang maujud (ada).

Wahdah al-Adyan (Kasatuan Agama-Agama)
          Semua agama yang ada ini pada hakikatnya adalah satu, karena semuanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengakui dan menyembah Allah, Tuhan semesta alam, Tuhan semua agama. Nama agama berbagai macam, ada Islam, Kristen, Yahudi dan lain-lain, semuanya hanyalah perbedaan nama, namun hakikatnya sama saja.
          Semua agama adalah agama Allah, maksudnya ialah menuju kepada Allah. Orang memilih suatu agama, atau lahir dalam suatu agama bukanlah atas kehendaknya, tetapi dikehendaki untuknya. Tidak ada faedahnya seseorang mencela orang yang berlainan agama dengan dia, karena, itu adalah takdir (ketentuan) Tuhan buat orang itu.
          Paham Wahdah al-Adyan (kesatuan agama-agama) ini muncul sebagai konsekuensi logis dari pahamnya tentang Nur Muhammad. Yakni, pendapat al-Hallaj tentang qadimnya Nur Muhammad telah mendorongnya berkesimpulan tentang kesatuan semua agama, karena dalam kasus tersebut, sumber semua agama adalah satu. Menurut al-Hallaj, agama-agama itu diberikan kepada manusia bukan atas pilihannya sendiri, tetapi dipilihkan untuknya.
          Tentang hal ini, 'Abdullah bin Tahir al-Azdi mengatakan, sebagaimana diungkapkan oleh al-Taftazani, sebagai berikut: Suatu hari aku bertengkar dengan seorang Yahudi di pasar Bagdad. Diapun kumaki: hai anjing. Ketika itu al-Husain bin Mansur (al-Hallaj) lewat dan memandangku dengan wajah geram. Dan ditegurnya: jangan kau maki anjingmu! Dan diapun langsung pergi. setelah pertengkaran itu, akupun mencari al-Hallaj. Namun ketika kutemui, dia memalingkan wajahnya. Akupun meminta maaf kepadanya. Kemudian katanya: Wahai sahabatku, semua agama adalah milik Allah. Setiap golongan menganut suatu agama tanpa adanya pilihan, bahkan dipilihkan bagi mereka. Karena itu barangsiapa menyalahkan apa yang dianut golongan itu sama dengan dia telah menghukumi golongan tersebut menganut agama atas upayanya sendiri. Pandangan seperti ini adalah pandangan aliran Qadariyah ; aliran Qadariyah adalah kaum Majusi (penganut ajaran Zoroaster). Ketahuilah! Agama-agama Yahudi, Islam, dan lain-lain adalah sebutan serta nama yang beraneka macam dan berbeda. Akan tetapi tujuan semua agama itu tidak berbeda.
     Dengan demikian, dapat dikatakan, sekiranya Nur Muhammad merupakan asal segala sesuatu, termasuk adanya hidayah dan agama, juga semua para nabi, sejak Nabi Adam hingga Nabi Isa AS, maka semua agama yang ada kembali kepada pokok (sumber) yang sama, yakni pancaran dari suatu cahaya (nur). Perbedaan yang ada dalam agama-agama itu hanyalah sekedar bentuk dan sifatnya, sedangkan hakikat dan tujuannya adalah sama, yaitu sama-sama untuk menyembah Allah. Hal ini berarti tidak ada perbedaan antara monotheisme (paham satu Tuhan) dengan politheisme (paham banyak Tuhan), atau antara iman dan kufur. Dalam hubungan ini al-Hallaj menjelaskan, sebaimana dikutip oleh 'Abd al-Hakim Hassan : "Antara kufur dan iman hanya berbeda dari segi namanya saja, sedang dari segi hakikatnya tidak ada perbedaan antara keduanya".
     Banyak di antara para ulama tidak bisa menerima ajaran tasawuf yang diajarkan oleh al-Hallaj ini, Tetapi tidak sedikit pula ulama yang sependapat dan membelanya. Pembela-pembela al-Hallaj menjernihkan ajarannya dari apa yang dituduhkan orang kepadanya.
     Menurut Nicholson, yang mereka gunakan adalah : (1) Al-Hallaj tidak melakukan dosa terhadap kebenaran, tetapi dia dihukum karena tindakannya yang dipandang bertentangan dengan hukum. Dia membuka rahasia-rahasia tentang Tuhan dengan mengetengahkan segala yang dianggap sebagai misteri tertinggi, yang selayaknya hanya boleh diketahui oleh orang-orang tertentu saja. (2) Al-Hallaj berbicara di bawah pengaruh ketidak sadaran dari akstasi. Dia merasa dirinya telah bersatu dengan inti Ilahi, yang dalam kenyataannya dia hanya bersatu dengan salah satu sifat Ilahi, dan (3) Al-Hallaj mengatakan bahwa tidak ada pemisahan antara Tuhan dengan makhluk-Nya sebagaimana dengan kesatuan Ilahi yang melingkupi makhluk-Nya. Yang berbicara : Ana al-Haqq, bukanlah al-Hallaj pribadi, namun, Tuhan sendiri melalui lisan al-Hallaj.

salahkah Al Hallaj?


kenapa orang hebat dan zuhud seperti Al Hallaj harus tewas di tangan penguasa Islam? Bukankah Al Hallaj, adalah dia yang rindu akan perjumpaan dengan Tuhan sehingga ungkapan kerinduan itu tidak bisa dibenar salahkan? Sebagaimana orang yang jatuh cinta kemudian menulis puisi? Inilah sedikit pernyataan-Pernyataan Al-Hallaj :
Allah menghijab mereka dengan Nama, lantas mereka pun menjadi hidup. Seandainya Dia menampakkan Ilmu Qudrat pada mereka, mereka akan hangus. Seandainya hijab hakikat itu disingkapkan niscaya mereka mati semua.
Tuhanku, Engkau tahu kelemahanku jauh dari rasa bersyukur kepadaMu, karena itu bersykurlah pada DiriMu bukan dariku, karena itulah sesungguhnya Sukur, bukan yang lain.
Siapa yang mengandalkan amalnya ia akan tertutupi dari yang menerima amal. Siapa yang mengandalkan Allah yang menerima amal, maka ia akan tertutupi dari amal.
Asma-asma Allah Ta’ala dari segi pemahaman adalah Nama ansich, tapi dari segi kebenaran adalah hakikat.
Bisikan Allah adalah bisikan yang sama sekali tidak mengandung kontra.
Suatu ketika Al-Hallaj ditanya tentang al-Murid, “Ia adalah orang yang dilemparkan menuju kepada Allah, dan tidak akan berhenti naik sampai ketika ia sampai.”
Sama sekali tidak diperbolehkan orang yang mengenal Allah Yang Maha Tunggal atau mengingat Yang Maha Tunggal, lalu ia mengatakan, “Aku mengenal Al-Ahad” padahal ia masih melihat individu-individu lainnya.
Siapa yang dimabukkan oleh cahaya-cahaya Tauhid, ia akan tertupi dari ungkapan-ungkapan Tajrid (menyendiri bersama Allah). Bahkan, siapa yang dimabukkan oleh cahaya-cayaha Tajrid, ia akan bicara dengan hakikat Tauhid, karenakemabukan itulah yang bicara dengan segala hal yang tersembunyi.
Siapa yang menempuh kebenaran dengan cahaya Iman, maka ia seperti pencari matahari dengan cahaya bintang gemintang.
Ketika Allah mewujudkan jasad tanpa sebab, demikian pula Allah mewujudkan sifat jasad itu tanpa sebab, sebagaimana hamba tidak memiliki asal usul pekerjaannya, maka, hamba itu pun tidak memiliki pekerjaannya.
Sesungguhnya Allah Ta’ala, Maha Pemberi Berkah dan Maha Luhur, serta Maha Terpuji, adalah Dzat Yang Esa, Berdiri dengan DiriNya Sendiri, Sendiri dari yang lain dengan Sifat QidamNya, tersendiri dari yang lainNya dengan KetuhananNya, tidak dicampuri oleh apa pun dan tidak didampingi apa pun, tidak diliputi tempat, tidak pula di temukan waktu, tidak mampu difikirkan dan tidak bisa tercetus dalam imajinasi, tidak pula bisa dilihat pandangan, tidak bisa darusi kesenjangan.
Akulah Al-Haq, dan Al-Haq (Allah) Benar, Mengenakan DzatNya, di sana tak ada lagi perbedaan.
Ketika ditanya tentang Tauhid,ia menjawab, “Memisahkan yang baru dengan Yang Maha Dahulu, lalu berpaling dari yang baru dan menghadap kepada Yang Maha Dahulu, dan itulah hamparan Tauhid. Sedangkan substansinya.
SEJARAHNYA
Abad ketiga hijriyah merupakan abad yang paling monumental dalam sejarah teologi dan tasawuf. Lantaran, pada abad itu cahaya Sufi benar-benar bersinar terang. Para Sufi seperti Sari as-Saqathy, Al-Harits al-Muhasiby, Ma’ruf al-Karkhy, Abul Qasim al-Junaid al-Baghdady, Sahl bin Abdullah at-Tustary, Ibrahim al-Khawwash, Al-Husain bin Manshur al-Hallaj, Abu Bakr asy-Syibly dan ratusan Sufi lainya.
Di tengah pergolakan intelektual, filsafat, politik dan peradaban Islam ketika itu, tiba-tiba muncul sosok agung yang dinilai sangat kontroversial oleh kalangan fuqaha’, politisi dan kalangan Islam formal ketika itu. Bahkan sebagian kaum Sufi pun ada yang kontra. Yaitu sosok Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj. Sosok yang kelak berpengaruh dalam peradaban teosofia Islam, sekaligus menjadi watak misterius dalam sejarah Tasawuf Islam.
Nama lengkapnya adalah al-Husain bin Mansur, populer dipanggil dengan Abul Mughits, berasal dari penduduk Baidha’ Persia, lalu berkembang dewasa di Wasith dan Irak. Menurut catatan As-Sulamy, Al-Hallaj pernah berguru pada Al-Junaid al-Baghdady, Abul Husain an-Nury, Amr al-Makky, Abu Bakr al-Fuwathy dan guru-guru lainnya. Walau pun ia ditolak oleh sejumlah Sufi, namun ia diterima oleh para Sufi besar lainnya seperti Abul Abbad bin Atha’, Abu Abdullah Muhammad Khafif, Abul Qasim Al-Junaid, Ibrahim Nashru Abadzy. Mereka memuji dan membenarkan Al-Hallaj, bahkan mereka banyak mengisahkan dan memasukkannya sebagai golongan ahli hakikat. Bahkan Muhammad bin Khafif berkomentar, “Al-Husain bin Manshur adalah seorang a’lim Rabbany.”
Pada akhir hayatnya yang dramatis, Al-Hallaj dibunuh oleh penguasa dzalim ketika itu, di dekat gerbang Ath-Thaq, pada hari Selasa di bulan Dzul Qa’dah tahun 309 H.
Kelak pada perkembangannya, teori-teori Tasawuf yang diungkapkan oleh Al-Hallaj, berkembang lebih jauh, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Araby, Al-Jiily, Ibnu Athaillah as-Sakandary, bahkan gurunya sendiri Al-Junaid punya Risalah (semacam Surat-surat Sufi) yang pandangan utuhnya sangat mirip dengan Al-Hallaj. Sayang Risalah tersebut tidak terpublikasi luas, sehingga, misalnya mazhab Sufi Al-Junaid tidak difahami secara komprehensif pula. Menurut Prof Dr. KH Said Aqiel Sirraj, “Kalau orang membaca Rasailul Junaid, pasti orang akan faham tentang pandangan Al-Hallaj.”
Pandangan Al-Hallaj banyak dikafirkan oleh para Fuqaha’ yang biasanya hanya bicara soal halal dan haram. Sementara beberapa kalangan juga menilai, kesalahan Al-Hallaj, karena ia telah membuka rahasia Tuhan, yang seharusnya ditutupi. Kalimatnya yang sangat terkenal hingga saat ini, adalah “Ana al-Haq”, yang berarti, “Akulah Allah”.
Tentu, pandangan demikian menjadi heboh. Apalagi jika ungkapan tersebut dipahami secara sepintas belaka, atau bahkan tidak dipahami sama sekali.
Para teolog, khususnya Ibnu Taymiyah tentu mengkafirkan Al-Hallaj, dan termasuk juga mengkafirkan Ibnu Araby, dengan tuduhan keduanya adalah penganut Wahdatul Wujud atau pantheisme.
Padahal dalam seluruh pandangan Al-Hallaj tak satu pun kata atau kalimat yang menggunakan Wahdatul Wujud (kesatuan wujud antara hamba dengan Khaliq). Wahdatul Wujud atau yang disebut pantheisme hanyalah penafsiran keliru secara filosufis atas wacana-wacana Al-Hallaj. Bahkan yang lebih benar adalah Wahdatusy Syuhud (Kesatuan Penyaksian). Sebab yang manunggal itu adalah penyaksiannya, bukan DzatNya dengan dzat makhluk.Para pengkritik yang kontra Al-Hallaj, menurut Kiai Abdul Ghafur, Sufi kontemporer dewasa ini, melihat hakikat hanya dari luar saja. Sedangkan Al-Hallaj melihatnya dari dalam.
Sebagaimana Al-Ghazali melihat sebuah bangunan dari dalam dan dari luar, lalu menjelaskan isi dan bentuk bangunan itu kepada publik, sementara Ibnu Rusydi melihat bangunan hanya bentuk luarnya saja, dan menjelaskannya kepada publik pula. Tentu jauh berbeda kesimpulan Al-Ghazali dan Ibnu Rusydi.
Setidak-tidaknya ada tiga kelomp0k besar dari kalangan Ulama, baik fuqaha’ maupun Sufi terhadap pandangan-pandangan Al-Hallaj ini. Mereka ada yang langsung kontra dan mengkafirkan; ada pula yang secara moderat tidak berkomentar; dan ada yang langsung menerima dan mendukungnya. Menurut penelitian Dr. Abdul Qadir Mahmud, dalam bukunya Al-Falsafatush Shufiyah fil Islam, mengatakan:
Mereka yang mngkafirkannya, antara lain adalah para Fuqaha’ formalis, dan kalangan mazhab Dzahiriyah, seperti Ibnu dawud dan Ibnu Hazm. Sedangkan dari kalangan Syi’ah Imamiyah antara lain Ibnu Babaweih al-Qummy, ath-Thusy dan al-Hilly. Dari kalangan mazhab Maliki antara lain Ath-Tharthusy, Iyyadh, Ibnu Khaldun. Dari kalangan mazhab Hanbaly antara lain Inu Taymiyah. Dan kalangan Syafi’iyah antara lain Al-Juwainy dan ad-Dzahaby.
Sementara itu dari kalangan Mutakallimin yang mengkafirkan: Al-Jubba’i dan al-Qazwiny (Mu’tazilah); Nashiruddin ath-Thusy dan pengukutnya (Imamiyah); Al-Baqillany (Asy’ariyah); Ibnu Kamal dan al-Qaaly (Maturidiyah). Dari kalangan Sufi antara lain, Amr al-Makky dan kalangan Salaf, diantaranya juga para Sufi mutakhir, selain Ahmad ar-Rifai’y dan Abdul Karim al-Jily, keduanya tidak berkomentar.
Mereka yang mendukung pandangan Al-Hallaj, dari kalangan Fuqaha’ antara lain: At-Tusytary dan Al-Amily (Imamiyah); Ad-Dilnajawy (Malikiyah); Ibnu Maqil dan an-Nabulisy (Hambaliyah),; Al-Maqdisy, Al-Yafi’y, Asy-Sya’rany dan Al-Bahtimy (Syafi’iyah). Dari kalangan Mutakallimin, Ibnu Khafif, Al-Ghazaly dan Ar-Razy (kalangan Asy’ary) serta kalangan Mutakallim Salaf.
Dari kalangan Filsuf pendukungnya adalah Ibnu Thufail. Sedangkan dari kalangan Sufi antara lain asSuhrawardy al-Maqtul, Ibnu Atha’ as=Sulamy dan Al-Kalabadzy. Kelompok yang tidak berkomentar, dari kalangan Fuqaha’ antara lain: Ibnu Bahlul (Hambaliyah), Ibnu Suraij, Ibnu Hajar dan As-Suyuthy (Syafi’iyah). Dari kalangan Sufi antara lain, Al-Hushry, Al-Hujwiry, Abu Sa’id al-Harawy, Al-Jilany, Al-Baqly, Al-Aththar, Ibnu Araby, Jalaluddin ar-Ruumy, Ahmad Ar-Rifa’y, dan Al-Jiily.
Kontroversi Al-Hallaj, sebenarnya terletak dari sejumlah ungkapan-ungkapannya yang sangat rahasia dan dalam, yang tidak bisa ditangkap secara substansial oleh mereka, khususnya para Fuqaha’ (ahli syariat). Sehingga Al-Hallaj dituduh anti syari’at, lalu ia harus disalib. Padahal tujuan utama Al-Hallaj adalah bicara soal hakikat kehambaan dan Ketuhanan secara lebih transparan.
Tudingan bahwa Al-Hallaj penganut Wahdatul Wujud semata juga karena tidak memahami wahana puncak-puncak ruhani Al-Hallaj sebagaimana dialami oleh para Sufi. Banyak sekali wacana Tasawuf yang mirip dengan Al-Hallaj. Dan Al-Hallaj tidak pernah mengaku bahwa dirinya adalah Allah sebagaimana pengakuan Fir’aun dirinya adalah Tuhan. Dalam sejumlah wacananya, Al-Hallaj senantiasa menyatakan dirinya adalah seorang hamba yang hina dan fakir. Apa yang ditampakkan oleh Al-Hallaj adalah situasi dimana wahana ruhaninya menjadi dominan, sehingga kesadarannya hilang, sebagaimana mereka yang sedang jatuh cinta di puncaknya, atau mereka yang sedang terkejut dalam waktu yang lama.
Toh Al-Hallaj tetap berpijak pada pandangan Al-Fana’, Fana’ul Fana’ dan al-Baqa’, sebagaimana dalam wacana-wacana Sufi lainnya. Al-Hallaj juga tidak pernah mengajak ummat untuk melakukan tindakan Hulul. Sebab apa yang dikatakan semuanya merupakan Penyaksian kepada Allah atau sebagai etiuk murni dari seorang Sufi yang sangat dalam.
Sejarawan Al-Baghdady mengisahkan tragedi kematian dan peradilannya: “Ketika mereka hendak membunuh Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj, para Fuqaha’ dan Ulama dihadirkan, sementara Al-Hallaj diseret di hadapan Sultan. Para dewan kepolisian juga dihadirkan di sisi barat, tepatnya di hari Selasa, bulan Dzul Qa’dah Minggu kedua, TAHUN 309. Ia dicambuk sekitar seribu kali cambukan, lalu kedua kakinya dipotong, menyusul kedua tangannya, lalu lehernya ditebas. Lalu tubuhnya dibakar dengan api.
Kepalanya yang dipenggal itu diangkat, ditunjukkan kepada publik dalam kerangkeng besi, sementara kedua tangan dan kakinya diletakkan di sisi kepalanya. Ketika Al-Hallaj mendekati saat-saat penyaliban, ia membisikkan kata-kata, “Wahai yang menolong kefanaan padaku…tolonglah diriku dalam kefanaan….Tuhanku, Engkau mengasihi orang yang menyakitiMu, maka bagaimana engkau tidak mengasihi orang yang lara dalam DiriMu…Cukuplah yang satu menunggalkan yang satu bagiNya….”. Lalu ia membaca sebuah ayat, “
Sebelum meninggal dengan hukuman tragis itu, Al-Hallaj mengalami hidup dari satu tahanan ke tahanan lainnya, akibat iri dan kedengkian para Fuqaha’ dan para Ulama yang merasa tersaingi oleh pengaruh Al-Hallaj yang mulai meluas. Bisa jadi penguasa sangat terpengaruh pula oleh bahaya massa Al-Hallaj. Kalau toh Al-Hallaj harus dihukum mati dengan disalib, sebagaimana pernah ia ramalkan sendiri, adalah karena ia harus menghadapi ketidakberdayaan kekuasaan. Tetapi sekali lagi, Al-Hallaj adalah penganut amaliyah Syariat yang sangat patuh, yang digambarkan, sebagai sosok yang hafidz Al-Qur’an, tekun sholat sepanjang malam, puasa sepanjang siang, dan melakukan ibadah haji berulang kali. Hukuman mati baginya, sama sekali tidak ada kaitannya dengan legitimasi bahwa dirinya salah dan benar.
Rasanya Tragedi Al-Hallaj menjadi hikmah yang luar biasa dalam perkembangan Tasawuf. Mereka akan mehamami substansi Al-Hallaj, manakala mereka juga menjalankan dan merasakan apa yang dialami oleh Al-Hallaj. Sekadar menvonis Al-Hallaj begini dan begitu, tanpa pernah menghayati substansi terdalam dalam praktek Sufistik, siapa pun akan selalu gagal memahaminya.
Ada ungkapan Sufi yang sangat arif bisa jadi renungan kita bersama untuk sekadar merasakan sedikit dari rasa Al-Hallaj. “Orang yang sedang tenggelam di lautan, tidak akan pernah bisa bicara, bercerita, berkata-kata, tentang tenggelam itu sendiri. Ketika ia sudah mentas dari tenggelam, dan sadar, baru ia bicara tentang kisah rahasia tenggelam tadi. Ketika ia bicara tentang tenggelam itu, posisinya bukan lagi sebagai amaliyah tenggelam, tetapi sekadar ilmu tentang tenggelam. Bedakan antara amal dan ilmu. Sebab banyak kesalah pahaman orang yang menghayati tenggelam, tidak dari amalnya, tetapi dari ilmunya. Maka muncullah kesalahpahaman dalam memahami tenggelam itu sendiri.”
sumber

Sufi Road : Risalah Al Ghautsiyyah


Syekh Abdul Qadir Al Jailani
Sebagai bekal untuk Sobat-sobat Pejalan Cahaya di belahan dunia manapun berada kini, yg selalu setia mendampingi diri, bersama dalam menapaki tangga ruhani, lahir dan batin. Semoga Allah SWT Senantiasa Memperkuat lingkaran cahayaNya dalam diri kita & ukhuwah bashariah kita, aamin ...
Risalah Al Ghautsiyyah adalah sebentuk dialog batiniah antara Allah SWT dan Syekh Abdul Qadir Al Jailani, yang diterima melalui ilham qalbi dan penyingkapan ruhani [kasyf ma’nawi].

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Segala puji bagi Allah, Sang Penghapus Duka. Shalawat atas manusia terbaik, Muhammad. Berkatalah sang penolong agung, yang terasing dari selain Allah dan amat intim dengan Allah.

Allah SWT Berkata : “Wahai penolong agung!”
Aku menjawab : “Aku mendengar panggilan-Mu, Wahai Tuhannya si penolong.”

Dia Berkata : “Setiap tahapan antara alam Naasut dan alam Malakut adalah syariat; setiap tahapan antara alam Malakut dan Jabarut adalah tarekat; dan setiap tahapan antara alam Jabarut dan alam Lahut adalah hakikat.” 1
Lalu Dia berkata kepadaku : “Wahai penolong agung ! Aku tidak pernah mewujudkan Diri-Ku dalam sesuatu sebagaimana perwujudanKu dalam diri manusia.”

Lalu aku bertanya : “Wahai Tuhanku, apakah Engkau memiliki tempat ?”, Maka Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, Akulah Pencipta tempat, dan Aku tidak memiliki tempat.”

Lalu aku bertanya : “Wahai Tuhanku, apakah Engkau makan dan minum ?”, Maka Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, makanan dan minuman kaum fakir adalah makanan dan minuman-Ku.”2

Lalu aku berkata : “Wahai Tuhanku, dari apa Engkau ciptakan malaikat ?”. Dia Berkata kepadaku : “Aku Ciptakan malaikat dari cahaya manusia, dan Aku Ciptakan manusia dari cahaya-Ku.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, Aku Jadikan manusia sebagai kendaraan-Ku, dan Aku jadikan seluruh isi alam sebagai kendaraan baginya.”3

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, betapa indahnya Aku sebagai Pencari ! Betapa indahnya manusia sebagai yang dicari ! Betapa indahnya manusia sebagai pengendara, dan betapa indahnya alam sebagai kendaraan baginya.”4

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, manusia adalah rahasia-Ku dan Aku adalah Rahasianya. Jika manusia menyadari kedudukannya di sisi-Ku, maka ia akan berucap pada setiap hembusan nafasnya, ‘milik siapakah kekuasaan pada hari ini ?’.”5

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, tidaklah manusia makan sesuatu, atau minum sesuatu, dan tidaklah ia berdiri atau duduk, berbicara atau diam, tidak pula ia melakukan suatu perbuatan, menuju sesuatu atau menjauhi sesuatu, kecuali Aku Ada [Berperan] di situ, Bersemayam dalam dirinya dan Menggerakkannya.”6

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, tubuh manusia, jiwanya, hatinya, ruhnya, pendengarannya, penglihatannya, tangannya, kakinya, dan lidahnya, semua itu Aku Persembahkan kepadanya oleh Diri-Ku, untuk Diri-Ku. Dia tak lain adalah Aku, dan Aku Bukanlah selain dia.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, jika engkau melihat seseorang terbakai oleh api kefakiran dan hancur karena banyaknya kebutuhan, maka dekatilah ia, karena tidak ada penghalang antara Diri-Ku dan dirinya.”7

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, janganlah engkau makan sesuatu atau minum sesuatu dan janganlah engkau tidur, kecuali dengan kehadiran hati yang sadar dan mata yang awas.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, barangsiapa terhalang dari perjalanan-Ku di dalam batin, maka ia akan diuji dengan perjalanan lahir, dan ia tidak akan semakin dekat dari-Ku melainkan justru semakin menjauh dalam perjalanan batin.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, kemanunggalan ruhani merupakan keadaan yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Siapa yang percaya dengannya sebelum mengalaminya sendiri, maka ia telah kafir. Dan barang siapa menginginkan ibadah setelah mencapai keadaan wushul, maka ia telah menyekutukan Allah SWT.”8

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, barangsiapa memperoleh kebahagiaan azali, maka selamat atasnya, dia tidak akan terhina selamanya. Dan barang siapa memperoleh kesengsaraan azali, maka celaka baginya, dia tidak akan diterima sama sekali setelah itu.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, Aku Jadikan kefakiran dan kebutuhan sebagai kendaraan manusia. Barangsiapa menaikinya, maka ia telah sampai di tempatnya sebelum menyeberangi gurun dan lembah.”9

Lalu Dia Berkatak kepadaku : “Wahai penolong agung, bila manusia mengetahui apa yang terjadi setelah kematian, tentu ia tidak menginginkan hidup di dunia ini. Dan ia akan berkata di setiap saat dan kesempatan, ‘Tuhan, matikan aku !’.”10

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, semua makhluk pada hari kiamat akan dihadapkan kepadaKu dalam keadaan tuli, bisu dan buta, lalu merasa rugi dan menangis. Demikian pula di dalam kubur.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, cinta merupakan tirai yang membatasi antara sang pencinta dan yang dicintai. Bila sang pencinta telah padam dari cintanya, berarti ia telah sampai kepada Sang Kekasih.”11

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, Aku Melihat Ruh-ruh menunggu di dalam jasad-jasad mereka setelah ucapanNya, ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu ?’ sampai hari kiamat.”

Lalu sang penolong berkata : “Aku melihat Tuhan Yang Maha Agung dan Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, barangsiapa bertanya kepadaKu tentang melihat setelah mengetahui, berrti ia terhalang dari pengetahuan tentang melihat. Barangsiapa mengira bahwa melihat tidak sama dengan mengetahui, maka berarti ia telah terperdaya oleh melihat Allah SWT.’”12

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, orang fakir dalam pandangan-Ku bukanlah orang yang tidak memiliki apa-apa, melainkan orang fakir adalah ia yang memegang kendali atas segala sesuatu. Bila ia berkata kepada sesuatu, ‘jadilah !’ maka terjadilah ia.”13

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Tak ada persahabatan dan kenikmatan di dalam surga setelah kemunculan-Ku di sana, dan tak ada kesendirian dan kebakaran di dalam neraka setelah sapaan-Ku kepada para penghuninya.”14

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, Aku Yang Paling Mulia di antara semua yang mulia, dan Aku Yang Paling Penyayang di antara semua penyayang.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, tidurlah di sisi-Ku tidak seperti tidurnya orang-orang awam, maka engkau akan melihatKu.” Terhadap hal ini aku bertanya : “Wahai Tuhanku, bagaimana aku tidur disisi-Mu ?”. Dia Berkata : “Dengan menjauhkan jasmani dari kesenangan, menjauhkan nafsu dari syahwat, menjauhkan hati dari pikiran dan perasaan buruk, dan menjauhkan ruh dari pandangan yang melalaikan, lalu meleburkan dzatmu di dalam Dzat.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, katakan kepada sahabatmu dan pencintamu, siapa di antara kalian yang menginginkan kedekatan dengan-Ku, maka hendaklah ia memilih kefakiran, lalu kefakiran dari kefakiran. Bila kefakiran itu telah sempurna, maka tak ada lagi apapun selain Aku.”15

Lalu Dia Berkata : “Wahai penolong agung, berbahagialah jika engkau mengasihi makhluk-makhluk-Ku, dan beruntunglah jika engkau memaaafkan makhluk-makhluk-Ku.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, katakan kepada pencintamu dan sahabatmu, ambillah manfaat dari do’a kaum fakir, karena mereka bersama-Ku dan Aku Bersama mereka.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, Aku Bersama segala sesuatu, Tempat Tinggalnya, Pengawasnya, dan kepada-Ku tempat kembalinya.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, jangan peduli pada surga dan apa yang ada di sana, maka engkau akan melihat Aku tanpa perantara. Dan jangan peduli pada neraka serta apa yang ada di sana, maka engkau akan melihat Aku tanpa perantara.”16

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, para penghuni surga disibukkan oleh surga, dan para penghuni neraka disibukkan oleh-Ku.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, sebagian penghuni surga berlindung dari kenikmatan, sebagaimana penghuni neraka berlindung dari jilatan api.”17

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, barangsiapa disibukkan dengan selain Aku, maka temannya adalah sabuk [tanda kekafiran] pada hari kiamat.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, orang-orang yang dekat mencari pertolongan dari kedekatan, sebagaimana orang-orang yang jauh mencari pertolongan dari kejauhan.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, sesungguhnya Aku Memiliki hamba-hamba yang bukan nabi maupun rasul, yang kedudukan mereka tidak diketahui oleh siapapun dari penghuni dunia maupun penghuni akhirat, dari penghuni surga ataupun neraka, tidak juga malaikat Malik ataupun Ridwan, dan Aku Tidak Menjadikan mereka untuk surga maupun untuk neraka, tidak untuk pahala ataupun siksa, tidak untuk bidadari, istana maupun pelayan-pelayan mudanya. Maka beruntunglah orang yang mempercayai mereka meski belum mengenal mereka.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, engkau adalah salah satu dari mereka. Dan di antara tanda-tanda mereka di dunia adalah tubuh-tubuh mereka terbakar karena sedikitnya makan dan minum; nafsu mereka telah hangus dari syahwat, hati mereka telah hangus dari pikiran dan perasaan buruk, ruh-ruh mereka juga telah hangus dari pandangan yang melalaikan. Mereka adalah pemilik keabadian yang terbakar oleh cahaya perjumpaan [dengan Tuhan].”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, bila seseorang yang haus datang kepadamu di hari yang amat panas, sedangkan engkau memiliki air dingin dan engkau sedang tidak membutuhkan air, jika engkau menahan air itu baginya, maka engkau adalah orang yang paling kikir. Bagaimana Aku Menolak mereka dari rahmat-Ku padahal Aku Telah Menetapkan atas Diri-Ku, bahwa Aku Paling Pengasih di antara yang mengasihi.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, tak seorang pun dari ahli maksiat yang jauh dari-Ku, dan tak seorangpun dari ahli ketaatan yang dekat dari-Ku.”18

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, bila seseorang dekat kepada-Ku, maka ia adalah dari kalangan maksiat, karena ia merasa memiliki kekurangan dan penyesalan.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, merasa memiliki kekurangan merupakan sumber cahaya, dan mengagumi cahaya diri sendiri merupakan sumber kegelapan.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, ahli maksiat akan tertutupi oleh kemaksiatannya, dan ahli taat akan tertutupi oleh ketaatannya. Dan Aku Memiliki hamba-hamba selain mereka, yang tidak ditimpa kesedihan maksiat dan keresahan ketaatan.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, sampaikan kabar gembira kepada para pendosa tentang adanya keutamaan dan kemurahan, dan sampaikan berita kepada para pengagum diri sendiri tentang adanya keadilan dan pembalasan.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, ahli ketaatan selalu mengingat kenikmatan, dan ahli maksiat selalu mengingat Yang Maha Pengasih.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, Aku Dekat dengan pelaku maksiat setelah ia berhenti dari kemaksiatannya, dan Aku Jauh dari orang yang taat setelah ia berhenti dari ketaatannya.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, Aku Menciptakan orang awam namun mereka tidak mampu memandang cahaya kebesaran-Ku, maka Aku Meletakkan tirai kegelapan di antara Diri-Ku dan mereka. Dan Aku Menciptakan orang-orang khusus namun mereka tidak mampu mendekati-Ku dan mereka sebagai tirai penghalang.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, katakan kepada para sahabatmu, siapa di antara mereka yang ingin sampai kepada-Ku, maka ia harus keluar dari segala sesuatu selain Aku.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, keluarlah dari batas dunia, maka engkau akan sampai ke akhirat. Dan keluarlah dari batas akhirat, maka engkau akan sampai kepada-Ku.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, keluarlah engkau dari raga dan jiwamu, lalu keluarlah dari hati dan ruhmu, lalu keluarlah dari hukum dan perintah, maka engkau akan sampai kepada-Ku.”

Maka aku bertanya : “Wahai Tuhanku, shalat sepert apa yang paling dekat dengan-Mu ?.” Dia Berkata : “Shalat yang di dalamnya tiada apapun kecuali Aku, dan orang yang melakukannya lenyap dari shalatnya dan tenggelam karenanya.”19

Lalu aku berkata : “Wahai Tuhanku, puasa seperti apa yang paling utama di sisi-Mu ?.” Dia Berkata : “Puasa yang di dalamnya tiada apa pun selain Aku, dan orang yang melakukannya lenyap darinya."

Lalu aku berkata : “Wahai Tuhanku, amal apa yang paling utama di sisi-Mu ?.” Dia Berkata : “Amal yang di dalamnya tiada apa pun selain Aku, baik itu [harapan] surga ataupun [ketakutan] neraka, dan pelakunya lenyap darinya."

Lalu aku berkata : “Wahai Tuhanku, tangisan seperti apa yang paling utama di sisi-Mu ?.” Dia Berkata : “Tangisan orang-orang yang tertawa." Lalu aku berkata : “Wahai Tuhanku, tertawa seperti apa yang paling utama di sisi-Mu ?.” Dia Berkata : “Tertawanya orang-orang yang menangis karena bertobat.” Lalu aku berkata : “Wahai Tuhanku, tobat seperti apa yang paling utama di sisi-Mu ?.” Dia Menjawab : “Tobatnya orang-orang yang suci.” Lalu aku bertanya : “Wahai Tuhanku, kesucian seperti apa yang paling utama di sisi-Mu ?.” Dia Menjawab : “Kesucian orang-orang yang bertobat.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, pencari ilmu di mata-Ku tidak mempunyai jalan kecuali setelah ia mengakui kebodohannya, karena jika ia tidak melepaskan ilmu yang ada padanya, ia akan menjadi setan.”20

Berkatalah sang penolong agung : “Aku bertemu Tuhanku SWT dan aku bertanya kepada-Nya, ‘Wahai Tuhan, apa makna kerinduan [‘isyq] ?’, Dia Menjawab : ‘Wahai penolong agung, [artinya] engkau mesti merindukan-Ku dan mengosongkan hatimu dari selain Aku.’” Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, jika engkau mengerti bentuk kerinduan maka engkau harus lenyap dari kerinduan, karena ia merupakan penghalang antara si perindu dan yang dirindukan.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, bila engkau berniat melakukan tobat, maka pertama kali engkau harus bertobat dari nafsu, lalu mengeluarkan pikiran dan perasaan buruk dari hati dengan mengusir kegelisahan dosa, maka engkau akan sampai kepada-Ku. Dan hendaknya engkau bersabar, karena bila tidak bersabar berarti engkau hanya bermain-main belaka.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, bila engkau ingin memasuki wilayah-Ku, maka hendaknya engkau tidak berpaling kepada alam mulk, alam malakut, maupun alam jabarut. Karena alam mulk adalah setannya orang berilmu, dan malakut adalah setannya ahli makrifat, dan jabarut adalah setannya orang yang sadar. Siapa yang puas dengan salah satu dari ketiganya, maka ia akan terusir dari sisi-Ku.”

Dan Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, perjuangan spiritual [mujahadah] adalah salah satu lautan di samudera penyaksian [musyahadah] dan tela dipilih oleh orang-orang yang sadar. Barangsiapa hendak masuk ke samudera musyahadah, maka ia harus memilih mujahadah, karena mujahadah merupakan benih dari musyahadah dan musyahadah tanpa mujahadah adalah mustahil. Barangsiapa telah memilih mujahadah, maka ia akan mengalami musyahadah, dikehendaki atau tidak dikehendaki.”21

Dan Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, para pencari jalan spiritual tidak dapat berjalan tanpa mujahadah, sebagaimana mereka tak dapat melakukannya tanpa Aku.”

Dan Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, sesungguhnya hamba yang paling Ku Cintai adalah hamba yang mempunyai ayah dan anak tetapi hatinya kosong dari keduanya. Jika ayahnya meninggal, ia tidak sedih karenanya, dan jika anaknya pun meninggal, ia pun tidak gundah karenanya. Jika seorang hamba telah mencapai tingkat seperti ini, maka di sisi-Ku tanpa ayah dan tanpa anak, dan tak ada bandingan baginya.”22

Dan Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, siapa yang tidak merasakan lenyapnya seorang ayah karena kecintaan kepada-Ku dan lenyapnya seorang anak karena kecintaan kepada-Ku, maka ia tak akan merasakan lezatnya Kesendirian dan Ketunggalan.”

Dia juga Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, bila engkau ingin memandang-Ku di setiap tempat, maka engkau harus memilih hati resah yang kosong dari selain Aku.” Lalu aku bertanya : “Tuhanku, apa ilmunya ilmu itu ?.” Dia Menjawab : “Ilmunya ilmu adalah ketidaktahuan akan ilmu.”

Dan Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, berbahagialah seorang hamba yang hatinya condong kepada mujahadah, dan celakalah bagi hamba yang hatinya condong kepada syahwat.”

Lalu aku bertanya kepada Tuhanku SWT tentang mi’raj. Dia Berkata : “Mi’raj adalah naik meninggalkan segala sesuatu kecuali Aku, dan kesempurnaan mi’raj adalah pandangan tidak berpaling dan tidak pula melampauinya [ QS 53 : 17].” Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, tidak ada shalat bagi orang yang tidak melakukan mi’raj kepada-Ku.”23

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, orang yang kehilangan shalatnya adalah orang yang tidak mi’raj kepada-Ku.”


Keterangan :
1. Alam Naasut adalah alam manusia, di dalamnya yang tampak adalah urusan-urusan kemanusiaan yang lembut dan bersifat ruhaniah. Alam Malakut adalah alam dimana para malaikat berkiprah melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Allah SWT. Alam Jabarut adalah alam gaib tempat urusan-urusan ilahiah yang menunjukkan hakikat daya paksa, kekerasan, kecepatan tindak pembalasan, dan ketidakbutuhan kepada segala sesuatu. Alam Lahut adalah alam gaib yang di dalamnya hanya tampak urusan-urusan ilahiah murni.

2. Yang dimaksud fakir disini bukanlah orang yang membutuhkan harta benda, melainkan orang yang merasa butuh kepada Allah SWT.

3. Kendaraan di sini berarti sarana untuk menyampaikan seseorang kepada tujuan. Untuk tujuan tertentu, Allah SWT memanfaatkan manusia sebagai saranaNya, sementara manusia memanfaatkan alam sebagai sarana untuk mencapai tujuannya.

4. Allah SWT sebagai pencari sarana, memilih manusia – makhluk yang paling mulia – sebagai kendaraanNya. Betapa Agungnya Dia dan betapa terhormatnya manusia yang telah dipilihNya. Dan merupakan keagungan pula bagi alam karena telah dijadikan oleh manusia sebagai kendaraan yang membawanya kepada tujuannya.

5. Jika manusia mengetahui secara hakiki betapa tinggi kedudukannya dan betapa dekat ia dengan Allah SWT, maka ia akan merasa bahwa suatu saat nanti – karena kedekatan itu – Allah akan memberikan kekuasaanNya kepadanya. Karena itulah ia akan senantiasa menanti, kapan saat penyerahan itu tiba, dengan kalimat : “Milik siapakah kekuasaan pada hari ini ?.”

6. Allah SWT selalu berperan dalam setiap gerak dan diamnya manusia.

7. Orang yang telah menyadari kefakiran dan kebutuhannya di hadapan Allah SWT, berarti ia telah memahami posisi dirinya terhadap Tuhannya. Sehingga tiada lagi penghalang antara dirinya dan Allah SWT.

8. Penyatuan ruhani antara makhluk dan Khaliq tidak akan dapat diungkapkan dengan kata-kata. Jika seseorang belum mengalaminya sendiri, maka ia akan cenderung mengingkarinya. Dan orang yang mengaku telah mengalaminya padahal belum, maka ia telah kafir. Orang yang telah mencapai keadaan ini, tiada yang ia inginkan selain perjumpaan dengan Allah. Jika ia menginginkan hal lain, meski itu berupa ibadah sekalipun, dalam maqam ini, ia dianggap telah menyekutukan Allah dengan keinginannya yang lain.

9. Kefakiran dan kebutuhan merupakan sarana yang membawa manusia kepada kesadaran akan jati dirinya dan kebesaran Allah SWT. Orang yang telah sampai pada kesadaran semacam ini berarti telah sampai pada posisinya yang tepat tanpa harus menempuh perjalanan yang berliku-liku.

10. Kematian merupakan saat disingkapkannya hakikat segala sesuatu, dan perjumpaan dengan Tuhan adalah saat yang paling dinantikan oleh orang yang merindukanNya.

11. Cinta tiada lain kecuali keinginan sang pencinta untuk berjumpa dan bersatu dengan yang dicintai. Bila keduanya telah bertemu, maka cinta itu sendiri akan lenyap, dan keberadaan cinta itu justru akan menjadi penghalang antara keduanya.

12. Yang dimaksud mengetahui adalah melihat dengan mata hati. Jadi, di sini melihat sama dengan mengetahui.

13. Fakir dalam pandangan Allah SWT bukanlah orang yang tidak memiliki harta benda, melainkan orang yang merasa butuh kepada Allah SWT, dan tidak memiliki perhatian kepada apapun selain Allah SWT. Orang seperti ini, kehendaknya sama dengan kehendak Allah SWT, sehingga apa yang ia inginkan untuk terwujud akan terwujud.

14. Keinginan dan kenikmatan terbesar manusia di alam akhirat itu hanyalah perjumpaan dengan Allah SWT. Maka kenikmatan di dalam surga dan kesengsaraan di dalam neraka tidak akan terasa jika dihadapkan pada kenikmatan perjumpaan dengan Allah SWT, meski itu hanya dalam bentuk sapaan belaka.

15. Kefakiran adalah suatu keadaan butuh. Jika seseorang tidak membutuhkan apa pun selain Allah, maka kefakirannya telah sempurna. Baginya, Yang Wujud hanyalah Allah SWT, tak ada selainNya.

16. Ini seperti ungkapan Rabi’ah Al Andawiyah : “Aku menyembah Allah bukan karena mengharap surga atau takut akan neraka, melainkan karena Dia memang layak untuk disembah dan karena aku mencintai-Nya.”

17. Penghuni surga berlindung dari kenikmatan agar mereka tidak terlena sehingga lupa akan kenikmatan yang paling besar, yakni perjumpaan dengan Allah SWT.

18. Maksudnya, walaupun seseorang termasuk ahli maksiat, Allah tetap dekat dengannya sehingga jika ia mau bertobat, Allah pasti menerimanya. Dan janganlah seorang yang taat menyombongkan diri atas ketaatannya, karena dengan begitu ia justru akan semakin jauh dari Allah. Memiliki perasaan kekurangan dan penyesalan itulah yang menyebabkan seseorang dekat kepada Allah.

19. Lenyap dari shalat bermakna bahwa niat dan perhatian si pelaku shalat hanya tertuju kepada Allah SWT. Fokusnya bukan lagi penampilan fisik maupun gerakan-gerakan, melainkan kepada makna batiniah shalat itu.
20. Ilmu yang sesungguhnya adalah yang ada di sisi Allah SWT, sementara ilmu yang kita miliki hanyalah semu dan palsu. Selama manusia tidak melepas kepalsuan itu, ia tidak akan menemukan ilmu sejati. Ilmu sejati tidak akan berlawanan dengan perbuatan. Setan adalah contoh pemilik ilmu yang perbuatannya berlawanan dengan ilmu yang dimilikinya.

21. Mujahadah adalah perjuangan spiritual dengan cara menekan keinginan-keinginan jasmani, nafsu, dan jiwa, agar tunduk di bawah kendali ruh kita. Musyahadah adalah penyaksian akan kebesaran dan keagungan Allah SWT melalui tanda-tanda keagungan-Nya di alam ini.

22. Kecintaan seseorang kepada anak atau orang tua semestinya tidak melebihi kecintaannya kepada Allah SWT. Ia harus menyadari bahwa orang tua maupun anak adalah anugerah Allah SWT yang bersifat sementara, dan cepat atau lambat ia akan berpisah dengan mereka. Maka seharusnya perpisahan itu tidak membuatnya gundah dan gelisah mengingat hal itu terjadi karena kehendak Allah SWT [ QS 80 : 34-37]

23. Dalam sebuah hadist, Nabi SAW berkata : “Shalat adalah mi’raj kaum mukmin.” Mi’raj berarti naiknya ruh menghadap Allah SWT meski jasad kita tetap berada di alam ini. Jika shalat seseorang belum membawanya kepada keadaan seperti ini, berarti ia belum melakukan shalat dengan sempurna

sumber 

Blogroll